Disusun Oleh:
Jawi"Marbawi"Al-Kurdy
1.
Bersandarlah Pada Allah Bukan Pada Amal
٭ مِنْ علاماتِ الا ِعْتِمادِ عَلىَ العَملِ نـُقـَصَانُ
الرَّجاءِعِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلل ِ٭
“Sebagian dari tanda bahwa seorang
itu bergantung pada kekuatan amal dan usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan
atas rahmat dan karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan dan dosa”.
Orang yang
melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah
supaya hasil apa yang diharapkannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal
itu bergantung pada amalnya, karena pada hakikatnya yang menggerakkan amal
ibadah itu adalah Allah, sehingga apabila terjadi kesalahan seperti terlanjur
melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan
berkurang pengharapannya kepada Allah. Dan
apabila berkurang pengharapan kepada rahmat Allah, maka amalnyapun akan
berkurang sehingga pada akhirnya berhenti untuk beramal. Seyogyanya dalam
beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. sedangkan diri (jiwa) kita
hanya sebagai media untuk berlakunya Qudrat Allah.
Kalimat:
Laa ilaha illAllah. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat bersandar,
berlindung, berharap kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan,
tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah.
Pada
dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at
melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar
pada karunia dan rahmat Allah subhanahu wata’ala.
Apabila
kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan,
binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri
sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa
pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu
wata’ala.
2.
Tajrid dan Kasab
٭ إرادَتـُكَ التَجْرِيْدَ معَ اِقامةِاللهِ اِيّاكَ فى
الاَسْبَابِ مِنَ الشَهْوةِ الخفِيَّةِ، وَإرادَتـُكَ الاَسْبَابِ معَ
اِقامةِاللهِ اِيّاكَ فى التَجْرِيْدَ اِنْحطاط ٌ عن الهِمَّةِ العَليَّةِ ٭
“Keinginanmu untuk tajrid [hanya beribadat
saja tanpa berusaha untuk dunia], padahal Allah masih menempatkan engkau pada
golongan orang-orang yang harus berusaha [kasab], maka keinginanmu itu termasuk
nafsu syahwat yang samar [halus]. Sebaliknya keinginanmu untuk berusaha
[kasab], padahal Allah telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang harus
beribadat tanpa kasab [berusaha], maka keinginan yang demikian berarti menurun
dari semangat yang tinggi”
Sebagai
seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir
tentang ayat-ayat Allah, dan beribadah serta harus tahu bahwa tujuan hidup itu
hanya untuk beribadah (menghamba) kepada Allah, sesuai tuntunan Al-qur’an. Tetapi setelah ada
semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang
merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja (kasab). Kemudian berkeinginan melepas
dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah. Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan
nafsu yang tersembunyi/samar. Sebab
kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya.
Apa lagi kalau majikan itu adalah Allah yang maha mengetahui tentang apa yang
terbaik bagi hambanya.
Dan
tanda-tanda bahwa Allah menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus
berusaha (kasab), apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan
lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak
tamak (rakus) terhadap milik orang lain.
Dan tanda
bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha (Tajrid).
Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak diduga,
kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan
bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.
Syeikh Ibnu ‘Atha’illah berkata : “Aku datang
kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy. Aku
merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para
wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab)
agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru
bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan
sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan
meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu
yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang
akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.
Usaha Keras Tidak Bisa Mengalahkan
Taqdir
3.
Kekuatan Taqdir
٭ سَوَابِقُ الهِماَمِ لاَ تَحْرِقُ اَسْوَرَالاَقْدَارِ ٭
“Kerasnya himmah /semangat
perjuangan, tidak dapat menembus tirai takdir”
Kekeramatan
atau kejadian-kejadian yang luar biasa dari seorang wali itu, tidak dapat
menembus keluar dari takdir, maka segala apa yang terjadi semata-mata hanya
dengan takdir Allah."
Hikmah ini
menjadi ta’lil atau sebab dari hikmah sebelumnya (Iroodatuka tajriid)
seakan akan Mushonnif berkata: Hai murid, keinginan/himmahmu pada sesuatu, itu
tidak ada gunanya, karena himmah yang keras/kuat itu tidak bisa menjadikan
apa-apa seperti yang kau inginkan, apabila tidak ada dan bersamaan dengan
taqdir dari Allah. Jadi hikmah ini (Sawa-biqul himam) mengandung arti
menentramkan hati murid dari keinginannya yang amat sangat.
Sawaa-biqul himam (keinginan
yang kuat): apabila keluar dari orang-orang sholih/walinya Allah itu disebut:
Karomah. Apabila keluar dari orang fasiq disebut istidroj/penghinaan dari Allah.
Firman
Allah subhanahu wata’ala: “Dan
tidaklah kamu berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Allah Tuhan yang
mengatur alam semesta.” [At-Takwir 29]. “Dan tidaklah kamu menghendaki kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah,
sungguh Allah maha mengetahui, maha bijaksana.” [QS. Al-Insaan 30].
4.
Jangan ikut Mengatur
٭ اَرِحْ نَفْسَكَ منَ التـَدْ بـِيْرِفماَ قامَ بهِ غيرُكَ عَنْكَ
لا تقـُمْ بهِ لنـَفـْسك ٭
“Istirahat/enakkan dirimu/pikiranmu
dari kesibukan mengatur dirimu, dari apa-apa yang telah diatur/dijamin oleh
selain kamu(yaitu Allah), tidak perlu engkau ikut sibuk memikirkannya”
Yang di
maksud tadbiir (mengatur diri sendiri)dalam hikmah ini yaitu
Tadbir yang tidak di barengi dengan Tafwiidh (menyerahkan kepada Allah).
Apabila Tadbir itu dibarengi dengan Tafwidh itu diperbolehkan, bahkan
Rosululloh bersabda: At-tadbiiru nishful ma-‘isyah. (mengatur apa
yang menjadi keperluan itu sebagian dari hasilnya mencari ma’isah/penghidupan).
Hadits ini
mengandung anjuran untuk membuat peraturan didalam mencari fadholnya Allah.
pengertian Tadbir disini ialah menentukan dan memastikan hasil. karena itu
semua menjadi aturan Allah. Al-hasil, Tadbir yang dilarang yaitu ikut
mengatur dan menentukan/memastikan hasilnya.
Sebagai
seorang hamba wajib dan harus mengenal kewajiban, sedang jaminan upah ada di
tangan majikan, maka tidak usah risau pikiran dan perasaan untuk mengatur,
karena kuatir kalau apa yang telah dijamin itu tidak sampai kepadamu atau
terlambat, sebab ragu terhadap jaminan Allah tanda lemahnya iman.
5.
Tanda Mata Hati yang Buta
٭ اِجْتِهادُكَ
فيمَا ضُمنَ لكَ وتقـْصِيرُكَ فيماَ طُلبَ منكَ دَلِيلٌ على انطِماسِ البَصِيْرَةِ
منكَ ٭
“Kesungguhanmu
untuk mencapai apa-apa yang telah dijamin pasti akan sampai kepadamu, di
samping kelalaianmu terhadap kewajiban-kewajiban yang di amanatkan kepadamu,
membuktikan butanya mata hatimu”
Siapa saja yang disibukkan mencari apa yang sudah
dijamin Allah seperti rizki, dan
meninggalkan apa yang menjadi perintah Allah, itulah tanda orang yang buta
hatinya.
Firman Allah: "Dan
berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak [dapat] membawa
[mengurus] rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan
kepadamu. Dia Maha mendengar, Maha mengetahui." [QS. al-Ankabuut
60].
Firman Allah: "Dan
perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya.
Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan
akibat [yang baik di akhirat] adalah bagi orang yang bertakwa." [QS. Thaha 132].
Kerjakan apa yang menjadi kewajibanmu terhadap Kami,
dan Kami melengkapi bagimu bagian Kamu.
Di
sini ada dua perkara : 1. Yang dijamin oleh Allah, maka jangan menuduh atau
berburuk sangka kepada Allah subhanahu wa ta'ala. 2. Yang dituntut [menjadi
kewajiban bagimu] kepada Allah, maka jangan abaikan.
Dalam
sebuah hadits Qudsy yang kurang lebih artinya: "Hambaku, taatilah semua perintah-Ku, dan jangan memberi tahu
kepada-Ku apa yang baik bagimu, [jangan mengajari kepada-Ku apa yang menjadi
kebutuhanmu].
Syeih Ibrahim al-Khawwas berkata:
"Jangan memaksa diri untuk mencapai apa yang telah dijamin dan jangan
menyia-nyiakan [mengabaikan] apa yang diamanatkan kepadamu." Oleh sebab
itu, barangsiapa yang berusaha untuk mencapai apa yang sudah dijamin dan
mengabaikan apa yang menjadi tugas dan kewajiban kepadanya, maka buta mata
hatinya dan sangat bodoh.
6.
Ridho Dengan Pilihan Allah
٭ لاَيَكُنْ
تأخُرَ أمَدِ العَطَاءِ معَ الاِلحاحِ فى الدُعاءِموجِباً لِياءسِكَ
فهُوَ ضَمن لكَ الاِجاَبة َ فيماَ يختَاَرُهُ لكَ لا فيمَا
تَختاَرُلِنفْسِكَ وَفى الوَقتِ الَّذى يُرِيدُ لافى الوقتِ الذى تـُريدُ
“Janganlah keterlambatan/tertundanya
waktu pemberian Tuhan kepadamu, padahal engkau bersungguh-sungguh dalam berdo’a
menyebabkan putus harapan, sebab Allah telah menjamin dan menerima semua do’a
dalam apa yang ia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu, dan pada waktu
yang ditentukan Allah, bukan pada waktu yang engkau tentukan”
Allah telah berjanji akan mengabulkan do’a. sesuai dengan firman-Nya, “Mintalah kamu semua kepada-Ku, Aku akan
mengijabah do’amu semua”. dan Allah berfirman, "Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan
memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih."
Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa
yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu
yang tampak baginya sepintas baik, padahal ia tidak mengetahui bagaimana
akibatnya. Karena itu bila Tuhan yang maha mengetahui, maha bijaksana
memilihkan untuknya sesuatu, hendaknya rela dan menerima pilihan Tuhan yang
Maha pengasih, Maha mengetahui dan Maha bijaksana. Walaupun pada lahirnya pahit
dan menyakitkan rasanya, namun itulah yang terbaik baginya, karena itu bila
berdoa, kemudian belum juga terkabulkan keinginannya, janganlah terburu-buru
putus asa.
Firman Allah:
"Dan mungkin jadi kamu tidak menyenangi
sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan mungkin jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui." [QS. al-Baqarah 216].
Syeikh Abul
Hasan asy-Syadzily radhiallahu 'anhu ketika mengartikan ayat ini: ''Sungguh telah diterima do’amu berdua [Musa
dan Harun alaihissalam] yaitu tentang kebinasaan Fir'aun dan tentaranya, maka
hendaklah kamu berdua tetap istiqamah [sabar dalam melanjutkan perjuangan dan
terus berdo’a], dan jangan mengikuti
jejak orang-orang yang tidak mengerti [kekuasaan dan kebijaksanaan
Allah]." [QS. Yunus 89].
Maka terlaksananya kebinasaan Fir'aun yang berarti
setelah diterima do’a Nabi Musa dan Harun alaihissalam selama/sesudah 40 tahun
lamanya.
Rasululloh
shallAllahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pasti
akan dikabulkan do’amu selama tidak terburu-buru serta mengatakan, aku telah
berdo’a dan tidak diterima."
Anas rodhiAllahu 'anhu berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak ada orang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya, atau
dihindarkan dari padanya bahaya, atau diampuni sebagian dosanya, selama ia
tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa atau untuk memutus silaturrahim.
Syeikh Abu
Abbas al-Mursi ketika ia sakit, datang seseorang membesuknya dan berkata:
Semoga Allah menyembuhkanmu [AfakAllahu]. Abu Abbas terdiam dan tidak menjawab.
Kemudian orang itu berkata lagi: Allah yu'aafika. Maka
Abu Abbas menjawab: Apakah kamu mengira aku tidak memohon kesehatan kepada Allah?
Sungguh aku telah memohon kesehatan dan penderitaanku ini termasuk kesehatan, ketahuilah
Rasululloh shallAllahu 'alaihi wasallam memohon kesehatan dan ia berkata:
"Selalu bekas makanan khaibar itu
terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.''
Abu Bakar
as-Siddiq memohon kesehatan dan meninggal terkena racun. Umar bin Khottob
memohon kesehatan dan meninggal dalam keadaan terbunuh. Usman bin Affan memohon
kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Ali bin Abi Tholib
memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Maka bila engkau
memohon kesehatan kepada Allah, mohonlah menurut apa yang telah ditentukan oleh
Allah untukmu, maka sebaik-baik seorang hamba ialah yang menyerahkan segala
sesuatunya menurut kehendak Tuhannya, dan meyakini bahwa apa yang diberikan
Tuhan kepadanya, itulah yang terbaik walaupun tidak sejalan dengan nafsu
syahwatnya. Dan syarat utama untuk diterimanya doa ialah keadaan
terpaksa/kesulitan. Allah subhanahu wata'ala berfirman: "Bukankah Dia [Allah] yang memperkenankan [do’a] orang yang
dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya..." [QS.
an-Naml 62].
Keadaan terpaksa atau kesulitan itu, apabila
merasa tidak ada sesuatu yang di harapkan selain semata-mata karunia Allah
subhanahu wata'ala, tidak ada yang dapat membantu lagi baik dari luar berupa
orang dan benda atau dari dalam diri sendiri.
No comments:
Post a Comment