Wednesday, October 15, 2014

KEDUDUKAN WALI MUJBIR DALAM PERNIKAHAN MENURUT PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB ( MALIKY, HANAFY, SYAFI’Y DAN HAMBALY )


KEDUDUKAN WALI MUJBIR DALAM PERNIKAHAN MENURUT PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB  
( MALIKY, HANAFY, SYAFI’Y DAN HAMBALY )
Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy




Islam adalah agama yang syumul (universal), agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan, dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan Islam telah berbicara banyak, dari mulai bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati, begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
Agama Islam adalah agama fithrah dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan, sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syari'at (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Secara umum, tujuan Pencipta hukum (syari') dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam yang berupa perwujudan kemaslahatan tersebut pada dasarnya hendak memelihara kemaslahatan dari lima aspek pokok (al-kulliyat al-Khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu pemeliharaan agama (Hifz ad-Din), jiwa (Hifz an-Nafs), akal (Hifz al-'Aql), keturunan (Hifz an-Nasl), kehormatan (Hifz al-Qard) dan harta kekayaan (Hifz al-Mal).[1] Lima hal tersebut di atas yang secara umum hendak dipelihara oleh hukum Islam. Memelihara dan menjaga lima hal ini akan mendatangkan maslahat, dan sebaliknya mengabaikan dan merusak lima hal ini akan mendatangkan mafsadat. Oleh karena itu, dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan al-Qur'an sebagai sumber hukum utama dari ajaran Islam, dan didampingi oleh hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua.
Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi manusia dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, al-Qur'an menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh umat manusia berada dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum Islam karena manusia diciptakan berkedudukan sama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya ketaqwaannyalah yang dapat membedakannya. Turunnya al-Qur'an dan lahirnya hadits Nabi Muhammad S.A.W. adalah sebagai langkah yang spektakuler dan revolusioner. Ia bukan saja mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu tetapi sekaligus mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan,  serta tradisi yang diskriminatif dan misoginis yang telah sekian lama dipraktekkan oleh masyarakat sebelumnya. [2]
Pada masa pra Islam, harga perempuan sangat rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang dapat diperlakukan sebagai apa saja, bahkan seringkali orang menganggap bahwa melahirkan perempuan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan dan ditolelir jika anak perempuan tersebut dibunuh hidup-hidup. Dalam banyak praktek hukum, harga perempuan adalah separuh harga laki-laki. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi perempuan sebagai manusia merdeka.
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga, serta sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Islam mengatur kehidupan manusia berpasang-pasangan melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan berdasarkan aturan-aturan tertentu dan diterapkan untuk mewujudkan suatu kesejahteraan, baik secara perorangan maupun bermasyarakat, serta dunia dan akhirat. Kesejahteraan orang akan tercapai dengan terciptanya keluarga sejahtera. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat ditentukan oleh kesejahteraan keluarga.
Pada dasarnya memilih pasangan hidup yang tepat menurut ajaran Islam adalah pilihan yang berdasar pada pertimbangan kekuatan jiwa, agama dan akhlak. Hal ini dapat dipahami bahwa perkawinan bukanlah kesenangan duniawi semata akan tetapi sebagai jalan untuk membina kehidupan lahir-batin serta menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral bagi anak keturunan yang berlaku bagi kedua calon suami dan istri. Meskipun demikian perlu dicatat bahwa Islam bukannya tidak memberikan tempat sama sekali kepada pertimbangan faktor-faktor lain. Islam hanya menekankan agar pertimbangan faktor agama dan akhlak dijadikan prioritas utama di samping pertimbangan faktor-faktor lainnya. Sudah barang tentu akan sangat ideal sekali apabila seseorang mendapatkan pasangan yang agamanya kuat, cantik/tampan, kaya, dan memiliki keturunan yang baik. Begitu pentingnya pernikahan maka Islam memberikan aturan-aturan tertentu bagi keabsahannya dengan adanya rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu. Hal ini sangat dimaklumi mengingat pernikahan adalah sebagai akad  yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) dan sakral sebagai implementasi ketaatan hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk membentuk keluarga bahagia yang kekal berdasarkan syari'at Islam. Salah satu syari'at dalam perkawinan adalah keberadaan wali. Karena setiap wali bermaksud memberikan bimbingan dan kemaslahatan terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya. Fuqaha' telah mengklasifikasikan wali ini menjadi beberapa bagian, yaitu: pertama, ditinjau dari sifat kewalian terbagi menjadi wali nasab (wali yang masih memiliki hubungan keluarga dengan pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaannya terbagi menjadi wali mujbir dan wali ghairu mujbir.
Dari klasifikasi di atas, wali mujbir menjadi kontroversi di antara cendikiawan muslim. Pengertian wali mujbir dalam hal ini adalah orang yang mendapat keistimewaan penguasaan yang diberikan syara' kepada seseorang untuk dapat memaksakan perkawinan (menentukan pasangan) kepada orang di bawah perwaliannya tanpa persetujuan orang tersebut, khususnya wanita, dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam budaya masyarakat Islam Indonesia, masih cukup kuat anggapan bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki di tangan Tuhan, dan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua (ayah), sehingga sering dijumpai seorang gadis yang akan menikah sampai hari yang telah ditentukan ia belum mengenal siapa sebenarnya calon suaminya. Pola pemaksaan perkawinan ini terutama terjadi di kawasan orang yang berpaham legal-formalistik terhadap agama atau dipengaruhi kultur Jawa karena malu dengan stigma-stigma yang memojokkan perempuan yang tidak segera menikah.
Pandangan tentang dibolehkannya hak ijbar terhadap anak perempuannya dalam menentukan calon suami akhir-akhir ini mulai digugat oleh para intelektual muslim. Hal ini menjadi penting untuk ditindaklanjuti agar fiqh perempuan memperhatikan hak-hak perempuan secara proporsional atau berparadigma gender. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah wajib. Hukum wajib kedudukan wali sewaktu seseorang perempuan menikah adalah berpadukan kepada ayat al-Qur’an.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ  
Artinya: “apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 232)

Imam Syafi’I rahimahullah berkata: ayat ini adalah bukti paling kuat dalam mengambil tanggapan kedudukan wali. Jika kedudukan wali tidak diambil, tentulah dia tidak kuasa menghalang pernikahan.
Al-Qur’an yang merupakan landasan ontologis kajian-kajian ilmu keislaman mengungkapkan tentang kedudukan wali mujbir dalam perkawinan. Namun dari ayat tersebut masih bersifat global dalam mengintroduksikan (memperkenalkan) konsep wali mujbir, karena dari ayat tersebut terungkap adanya dimensi-dimensi yang harus diperhatikan, fakultas-fakultas yang harus dilalui dari adanya nilai-nilai perkawinan dalam mengkaji dan memperoleh tentang wali mujbir, sehingga untuk menjadikan sebuah konsep atau rumusan perlu adanya pengkajian yang lebih serius dan kritis
Tujuan Islam diturunkan Allah SWT di tengah-tengah manusia adalah untuk menegakkan kemaslahatan. Teks al-Qur'an menggarisbawahi bahwa syari'at Islam ditegakkan di muka bumi sebagai rahmatan lil'alamin, membawa visi dan misi sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dengan pertimbangan kemaslahatan tersebut, hukum Islam yang terkandung di dalamnya perintah dan petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia ini harus menjamin kemaslahatan manusia. Fiqh sebagai produk pemikiran manusia senantiasa bertolak dari paradigma kemaslahatan yang universal. Dalam konteks inilah, sekalipun Islam dikenal sebagai agama wahyu dan ajaran-ajarannya itu merupakan firman Tuhan, Islam dengan teks al-Qur'an dan hadits Nabi S.A.W. merupakan produk sejarah dari ide dialog universalitas Tuhan dengan realitas empirik yakni realitas sosial dan budaya yang mengitarinya.
Pada dasarnya, Fiqh merupakan kajian integral dari syari'at Islam yang harus mengutamakan kemaslahatan secara holistik. Dalam realitas kontemporer, fiqh dijadikan satu pijakan (legal formal) untuk menghukumi sehingga tradisi keagamaan yang dominan adalah tradisi fiqh yang sangat konvensional dengan produk hukumnya. Dalam kenyataan, fiqh seringkali melegitimasi tradisi masyarakat yang bias gender disebabkan tradisi fiqh sangat dominan menjadikan laki-laki sebagai "subyek". Artinya tradisi Fiqh tidak bisa lepas dari latar belakang mujtahid, segi intelektualitas, sosial dan budaya tertentu. Karena, seandainya lepas dari konteks sosial, mereka tidak akan relevan pada masa itu, bahkan produk pemikiran mereka dianggap imajinasi abstrak.
Salah satu syarat perkawinan dalam Fiqh menurut jumhur ulama adalah adanya wali. Sehingga adanya kerelaan kedua pihak antara wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki (ijab qabul) juga menjadi syarat sah akad perkawinan dianalogikan dengan jual beli. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai hak menentukan pilihan apakah menjadi hak wanita atau hak wali. Pendapat di antara fuqaha' tentang hak ijbar dalam menentukan pilihan terutama perbedaan pendefinisian kata secara etimologi dan penggunaan al-Qiyas dalam wilayah ijma'.
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang berada dibawah perwaliannya meskipun tanpa mendapatkan izin dari orang itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar.[3]
Adapun orang yang boleh dipaksa menikah oleh wali mujbir adalah sebagai berikut:
1.         Orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukum,seperti anak kecil dan orang gila. Jumhur ulama kecuali Imam Syafi’i, menyatakan sepakat bahwa anak kecil yang belum akil balig, baik ia laki-laki ataupun perempuan, janda atau perawan, dan orang gila boleh dipaksa menikah.
2.         Wanita yang masih perawan tetapi telah balig dan berakal.
3.         Wanita yang telah kehilangan keperawanannya, baik karena sakit, dipukul, terjatuh ataupun disebabkan karena berzina. [4]
Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, anak-anak yang belum mencapai umur tamyiz boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya, sebagaimana dengan orang-orang yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan orang yang akalnya belum sempurna, tetapi belum tamyiz (abnormal).
Oleh karena itu, wali mujbir yang mengawinkan perempuan gadis di bawah perwaliannya tanpa izin gadis bersangkutan disyaratkan:
1.         Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan.
2.         Antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan.
3.         Antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
4.         Calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai.
5.         Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap isteri dengan baik, dan tidak terbayang akan berbuat yang akan mengakibatkan kesengsaraan isteri. [5]
Adanya lembaga wali mujbir dalam hukum perkawinan Islam adalah atas pertimbangan untuk kebaikan gadis yang dikawinkan, sebab sering terjadi seorang gadis  tidak pandai memilih jodohnya dengan tepat. Apabila gadis dilepaskan untuk memilih jodohnya sendiri, dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian pada gadis itu sendiri dikemudian hari, misalnya dari segi pemeliharaan keagamaannya, dan lain sebagainya.
Realitas masyarakat sekarang khususnya di Indonesia, terdapat banyak wanita yang melakukan kegiatan publik, transaksi mu'amalah, ikut menanggung beban keluarga bahkan ikut dalam politik kenegaraan. Namun banyak orang tua atau wali yang menjodohkan anak-anak mereka tanpa persetujuan anak tersebut bahkan tidak jarang ada yang menjodohkan mereka ketika masih kecil (belum dewasa). Padahal tujuan perkawinan yang sangat suci itu yang diperlukan kesiapan jasmani maupun rohani dan kematangan jiwa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di tengah perjalanan kehidupan rumah tangga seperti persengketaan, percekcokan yang berkepanjangan dan berakhir dengan perceraian. Dengan demikian, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sangat diperlukan demi terciptanya kemaslahatan secara umum bahkan kepentingan yang berpihak kepada golongan. Hal ini senada dengan al-Qawaid al- Fiqhiyyah:
د رء المفاسد مقد م على جلب المصالح 
Artinya: “menghindari/menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemashlahatan”.[6]

Laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam pemilihan jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya di masa depan, demi keharmonisan, kebahagiaan, kesejahteraan, ketenteraman dan ketenangan dalam kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, ajaran Islam memberi tuntunan dalam menentukan pilihan.
Dalam kehidupan sekarang, hak ijbar tidak dapat lagi dipertahankan, apalagi hal ini bertentangan dengan prinsip kemerdekaan. Karena pernikahan dalam Islam  merupakan sebuah kontrak antara dua pasangan yang setara maka siapapun yang menyelenggarakan pernikahan tidak dapat bertindak melaksanakan tugasnya tanpa memastikan persetujuan pengantin perempuan dan syarat yang ingin ditetapkannya, termasuk besar maskawin yang ingin didapatkan dari calon suaminya. Demikianlah akan terlihat bahwa tanpa persetujuan seorang perempuan, dan persetujuan syarat-syarat yang dimintanya, sebuah pernikahan tidak dapat terjadi. Jelaslah perempuan merupakan mitra sejajar dalam kesepakatan kontrak perkawinan.
Kata ijbar sendiri menurut arti bahasa adalah al-Qahru (memaksa), al-Ilzamu (pemaksaan). Sedang menurut istilah, ijbar yaitu hak memilih dan menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Dalam pengertian fiqh, bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yakni: pertama, bagi perempuan yang masih gadis. Kedua, bagi janda yang keperawanannya hilang bukan akibat hubungan seksual. Artinya, hilangnya keperawanan itu bukan sebab masuknya penis ke vagina, tetapi karena jatuh, memasukkan jari dan semacamnya.[7]   
Setelah menjelaskan definisi ijbar dan wali mujbir serta dasar hukum ijbar wali dalam pernikahan, selanjutnya penyusun memaparkan pendapat ulama fiqh mengenai ijbar. Tentang persoalan ini tidak bisa dilepaskan dengan wali mujbir sebagai obyeknya.
Dalam ajaran fiqh, seorang perempuan yang masih perawan yang akan dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut adalah "diam". Tetapi, di samping itu orang tua, terutama bapak dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan pilihan pasangan hidupnya. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar.
Hak ijbar oleh banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (bapak atau kakek) untuk menjodohkan anak atau cucu perempuan. Hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa.[8]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai 'illat hukum berupa sikap diamnya si gadis:
1.         Golongan pertama memandang bahwa yang menjadi sebab ('illat) hukum agama yang berupa pernyataan izin dari gadis cukuplah dengan sikap diamnya adalah sifat pemalunya. Tegasnya, sifat pemalu adalah kriteria yang menentukan seorang wanita dipandang sebagai (berstatus) gadis. Termasuk ke dalam golongan pertama ini antara lain adalah Imam abu Hanifah dan Imam Malik. [9]
2.         Golongan kedua memandang bahwa yang menjadi 'illat hukum agama yang berupa pernyataan izin dari gadis cukuplah dengan sikap diamnya adalah karena keperawanannya yang masih utuh. Tegasnya, keperawanan yang masih utuh adalah kriteria yang menentukan seorang wanita dipandang sebagai gadis. Termasuk ke dalam golongan ini antara lain adalah Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad. [10]
Atas dasar pandangan tersebut, menurut golongan yang pertama, gadis yang hilang keperawanannya dengan persetubuhan haram (zina) tetap dihukumi gadis selama tidak diketahui umum, karena sifat pemalunya masih terpelihara. Sedang yang masih utuh keperawanannya karena dicerai oleh suaminya yang impoten disamakan dengan hukum janda. Dari sini dapat juga dikatakan bahwa golongan ini menggunakan istilah janda menurut pengertian urfi, yaitu yang pernah bersuami walaupun keperawanannya masih utuh.
Sedangkan menurut golongan kedua adalah sebaliknya. Wanita yang hilang keperawanannya dengan jalan zina (walaupun dengan benda lain), menurut sebagian kalangan Syafi'iyah hukumnya adalah janda. Sedangkan yang masih utuh keperawanannya karena dicerai oleh suaminya tetap dihukumi gadis. Jadi, golongan kedua ini memandang janda menurut pengertian bahasa, yaitu yang belum hilang keperawanannya.

Menurut Al-Imam Asy-Syafi’iy
Kaitannya dengan kebebasan dan persetujuan wanita (calon istri) dan perkawinan, Imam asy-Syafi'i mengklasifikasikan wanita kepada tiga kelompok, yakni: 1). gadis yang belum dewasa, 2). gadis dewasa, dan 3). janda. Untuk gadis yang belum dewasa, yang batasan umurnya adalah belum berusia lima belas tahun atau belum keluar darah haid, seorang bapak boleh menikahkan tanpa seizinnya lebih dahulu, dengan syarat menguntungkan dan tidak merugikan si anak. Sebetulnya, wali tidak boleh memaksa menikahkan kalau merugikan atau menyusahkan seorang anak.
Dasar penetapan hak ijbar menurut Asy-Syafi'i adalah tindakan Nabi yang menikahi ‘Aisyah ketika masih berusia enam atau tujuh tahun dan mengadakan hubungan setelah berumur sembilan tahun. Tindakan Abu Bakar yang menikahkan anaknya yang masih belum dewasa ini, ditambah dengan alasan bahwa semua urusan anak kecil merupakan tanggungjawab orang tuanya, oleh Asy-Syafi'i dijadikan dasar untuk menetapkan adanya hak ijbar bapak pada anak yang belum dewasa. Dengan catatan, gadis berhak memilih (khiyar) kalau kelak sudah dewasa.[11]    
Adapun perkawinan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada paham sebaliknya (mafhum mukhalafah) hadits yang mengatakan, "janda lebih berhak pada dirinya". Menurut Asy-Syafi'i, mafhum mukhalafah hadits ini adalah bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya. Meskipun dianjurkan musyawarah antara kedua belah pihak (anak gadis dewasa tersebut dengan wali atau bapak). [12]
Dari penjelasan Asy-Syafi'i di atas terlihat bahwa dalam mengenai gadis dewasa pun hak wali (bapak) melebihi hak gadis. Menurut As-syafi'i izin gadis bukan lagi suatu keharusan (fard) tetapi hanya sekedar pilihan (ikhtiyar). Pandangan beliau bahwa bapak (wali) boleh mengurusi wanita dalam pernikahannya apabila pernikahan tersebut menguntungkan bagi wanita dan tidak mendatangkan madarat. Sebagaimana dibolehkan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh bapak atas nama wanita bikr dengan tidak mendatangkan madarat atasnya pada penjualan dan pembelian tersebut. Alasan rasio bahwa gadis belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan karena belum punya pengalaman. Jadi walaupun gadis itu dewasa dalam hal ini disamakan dengan gadis yang belum dewasa di mana bapak mempunyai hak ijbar terhadapnya. Oleh karena itu, yang menjadi ‘illat diperbolehkannya ijbar adalah kegadisan. Perwalian ini bersifat langgeng hingga wanita itu dewasa atau balig selama masih dalam keadaan gadis.

Menurut Al-Imam Hanafiy
Imam Hanafi berpendapat bahwa diperbolehkannya ijbar karena adanya ‘illat (alasan atau dasar) tidak adanya keahlian bagi anak yang masih kecil, orang gila, kurang akal, tidak mumayyiz. Lebih lanjut Imam Hanafi memaparkan bahwa wali nikah tidak berhak menikahkan anak perempuannya baik janda maupun gadis dewasa. Menurut beliau adalah mereka yang ssudah balig dan berakal sehat atau dalam bahasa Arab disebut al-baligah al-‘aqillah. Landasan analogi (qiyas) gadis dewasa yang disamakan dengan janda, kesamaannya terletak pada sisi kedewasaan, bukan pada status gadis tersebut. Kedewasaan seseorang memungkinkan dirinya untuk menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada di dalam hati atau pikirannya. Ia juga dapat mengerjakan sesuatu secara terbuka dan tidak malu-malu. Oleh karena hal ini, maka gadis dewasa dapat disamakan dengan perempuan janda. [13]  Sedangkan janda, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa, menurut asy-Syafi'i, wali mujbir tidak boleh menikahkan janda yang masih kecil atau sudah dewasa tanpa izin atau persetujuan darinya karena ia lebih berhak terhadap dirinya dalam masalah perkawinan.
Ada pemetaan yang menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang ikhtilaf ulama berkaitan dengan hak bagi wanita yang dapat dirinci secara garis besar sebagai berikut:
1.         Ulama sepakat bahwa untuk para janda, maka harus ada kerelaan.
2.         Ulama berbeda pendapat tentang seorang gadis perawan yang sudah balig. Menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i daan Ibnu Abi Laila, yang berhak memaksa perempuan yang masih perawan hanyalah bapak. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Imam as-Sauri, Imam al-Auza’i, Abu Sur, dan sebagian lainnya wajib ada rida (persetujuannya).
3.      Janda yang belum balig, menurut Imam Malik dan Imam Hanafi dapat memaksanya untuk menikah. Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i tidak boleh dipaksa. Sedangkan ulama mutaakhirin mengklasifikasikannya menjadi tiga pendapat, yaitu: pertama, menurut Imam Asyhab bahwa seorang bapak dapat memaksa untuk menikahkan janda selama ia belum balig setelah dicerai. Kedua, pendapat Imam Sahnun bahwa bapak dapat memaksanya walaupun sudah balig. Ketiga, pendapat Imam Abi Tamam bahwa bapak tidak dapat memaksanya walaupun ia belum balig. [14]
Berkaitan dengan apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau bukan, para ulama mazhab fiqh berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa wali merupakan syarat sahnya pernikahan. Sedangkan imam Abu Hanifah menyatakan bahwa jika seorang perempuan melakukan akad nikah dengan tanpa wali, sedang antara ia dan suaminya itu sekufu maka hukumnya boleh (sah nikahnya). Sementara Imam Dawud membedakan antara janda dan perawan. Menurutnya, wali menjadi syarat bagi perawan tetapi tidak menjadi syarat bagi janda.
Demikian artikel ini disusun semoga memberikan manfaat, khususnya:
Penulis. Diharapkan dapat memperdalam tentang kedudukan wali mujbir dalam perkawinan dan memperluas wawasan dalam bidang penelitian, sehingga dapat dijadikan sebagai latihan dan pengembangan teknik-teknik yang baik khususnya dalam membuat karya tulis ilmiah. 
Pembaca. Diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran dan referensi untuk dikaji lebih mendalam serta dapat dikembangkan lebih detail lagi tentang kedudukan wali mujbir menurut pandangan imam mazhab. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan-perbaikan yang lebih sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata


[3] Abdul Ghofur Anshori. Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. (Yogyakarta: UII Press.2011). hlm.40
[4] Ibid. hlm.40
[5] Ibid. hlm.41
[6] Abdul Mudjib. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia,2001).hlm.39
[7] Aliy As’ad. Tarjamah Fathul Mu’in Jilid 3.(Yogyakarta: Menara Kudus.1979). hlm.48
[8] Mudhofar Badri, dkk . Panduan Pengajaran Fiqh di Pesantren, (Yogyakarta:Yayasan Kesejahteraan Fatayat, 2002). Hlm.75
[9] Ibid. Hlm.77
[10] Ibid. Hlm.78
[11] Hosen IbrahimFiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). Hlm.85
[12] Ibid. Hlm.85
[13] Ibid. Hlm.90
[14] Ibid. Hlm.90

No comments:

Post a Comment