KEDUDUKAN WALI MUJBIR DALAM PERNIKAHAN MENURUT PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB
( MALIKY, HANAFY, SYAFI’Y DAN HAMBALY )
Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy
Islam adalah agama yang syumul (universal), agama yang mencakup
semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang
tidak dijelaskan, dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai
Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang
memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan Islam telah
berbicara banyak, dari mulai bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup
hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati, begitu
pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang
meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang
sederhana namun tetap penuh dengan pesona.
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan menarik
untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat
hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur
dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng
bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlaq yang luhur dan sentral.
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan
penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian
yang kokoh dan suci.
Agama Islam adalah agama fithrah dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok
dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia
menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan, sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah
fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah
merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syari'at (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan
manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Secara umum,
tujuan Pencipta hukum (syari') dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk
kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya, baik
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam yang berupa
perwujudan kemaslahatan tersebut pada dasarnya hendak memelihara kemaslahatan
dari lima aspek pokok (al-kulliyat al-Khamsah) dalam kehidupan manusia,
yaitu pemeliharaan agama (Hifz ad-Din), jiwa (Hifz an-Nafs), akal
(Hifz al-'Aql), keturunan (Hifz an-Nasl), kehormatan (Hifz
al-Qard) dan harta kekayaan (Hifz al-Mal).[1] Lima hal tersebut di atas yang
secara umum hendak dipelihara oleh hukum Islam. Memelihara dan menjaga lima hal
ini akan mendatangkan maslahat, dan sebaliknya mengabaikan dan merusak lima hal
ini akan mendatangkan mafsadat. Oleh karena itu, dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan al-Qur'an sebagai sumber
hukum utama dari ajaran Islam, dan didampingi oleh hadits sebagai sumber hukum
Islam yang kedua.
Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi manusia
dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Sebagai
rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, al-Qur'an menunjukkan bahwa pada
dasarnya seluruh umat manusia berada dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum
Islam karena manusia diciptakan berkedudukan sama di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan hanya ketaqwaannyalah yang dapat
membedakannya. Turunnya al-Qur'an dan lahirnya hadits Nabi Muhammad S.A.W.
adalah sebagai langkah yang spektakuler dan revolusioner. Ia bukan saja
mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu tetapi sekaligus
mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, serta tradisi yang
diskriminatif dan misoginis yang telah sekian lama dipraktekkan oleh masyarakat
sebelumnya. [2]
Pada masa pra
Islam, harga perempuan sangat rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang
dapat diperlakukan sebagai apa saja, bahkan seringkali orang menganggap bahwa
melahirkan perempuan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan dan ditolelir
jika anak perempuan tersebut dibunuh hidup-hidup. Dalam banyak praktek hukum, harga perempuan adalah separuh
harga laki-laki. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi perempuan
sebagai manusia merdeka.
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin
antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga,
serta sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut
ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Islam
mengatur kehidupan manusia berpasang-pasangan melalui jenjang perkawinan yang
ketentuannya dirumuskan berdasarkan aturan-aturan tertentu dan diterapkan untuk
mewujudkan suatu kesejahteraan, baik secara perorangan maupun bermasyarakat,
serta dunia dan akhirat. Kesejahteraan orang akan tercapai dengan terciptanya
keluarga sejahtera. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat ditentukan oleh
kesejahteraan keluarga.
Pada dasarnya memilih pasangan hidup yang tepat
menurut ajaran Islam adalah pilihan yang berdasar pada pertimbangan kekuatan
jiwa, agama dan akhlak. Hal ini dapat dipahami bahwa perkawinan bukanlah
kesenangan duniawi semata akan tetapi sebagai jalan untuk membina kehidupan
lahir-batin serta menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral bagi anak
keturunan yang berlaku bagi kedua calon suami dan istri. Meskipun demikian perlu dicatat bahwa Islam bukannya tidak
memberikan tempat sama sekali kepada pertimbangan faktor-faktor lain. Islam
hanya menekankan agar pertimbangan faktor agama dan akhlak dijadikan prioritas
utama di samping pertimbangan faktor-faktor lainnya. Sudah barang tentu akan
sangat ideal sekali apabila seseorang mendapatkan pasangan yang agamanya kuat,
cantik/tampan, kaya, dan memiliki keturunan yang baik. Begitu pentingnya pernikahan maka Islam memberikan
aturan-aturan tertentu bagi keabsahannya dengan adanya rukun-rukun dan
syarat-syarat tertentu. Hal ini sangat dimaklumi mengingat pernikahan adalah
sebagai akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) dan sakral
sebagai implementasi ketaatan hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk membentuk keluarga bahagia yang kekal berdasarkan
syari'at Islam. Salah satu syari'at dalam perkawinan adalah keberadaan wali.
Karena setiap wali bermaksud memberikan bimbingan dan
kemaslahatan terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya. Fuqaha' telah
mengklasifikasikan wali ini menjadi beberapa bagian, yaitu: pertama,
ditinjau dari sifat kewalian terbagi menjadi wali nasab (wali yang masih
memiliki hubungan keluarga dengan pihak wanita) dan wali hakim. Kedua,
ditinjau dari keberadaannya terbagi menjadi wali mujbir dan wali ghairu
mujbir.
Dari klasifikasi di atas, wali mujbir menjadi
kontroversi di antara cendikiawan muslim. Pengertian wali mujbir dalam
hal ini adalah orang yang mendapat keistimewaan penguasaan yang diberikan
syara' kepada seseorang untuk dapat memaksakan perkawinan (menentukan pasangan)
kepada orang di bawah perwaliannya tanpa persetujuan orang tersebut, khususnya
wanita, dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam budaya masyarakat Islam Indonesia, masih
cukup kuat anggapan bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki di tangan Tuhan, dan
bagi anak perempuan adalah urusan orang tua (ayah), sehingga sering dijumpai
seorang gadis yang akan menikah sampai hari yang telah ditentukan ia belum
mengenal siapa sebenarnya calon suaminya. Pola pemaksaan perkawinan ini
terutama terjadi di kawasan orang yang berpaham legal-formalistik terhadap
agama atau dipengaruhi kultur Jawa karena malu dengan stigma-stigma yang
memojokkan perempuan yang tidak segera menikah.
Pandangan tentang dibolehkannya hak ijbar
terhadap anak perempuannya dalam menentukan calon suami akhir-akhir ini mulai
digugat oleh para intelektual muslim. Hal ini menjadi penting untuk
ditindaklanjuti agar fiqh perempuan memperhatikan hak-hak perempuan secara
proporsional atau berparadigma gender. Kedudukan wali dalam perkawinan
adalah wajib. Hukum wajib kedudukan wali sewaktu seseorang perempuan menikah
adalah berpadukan kepada ayat al-Qur’an.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& xsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Zt £`ßgy_ºurør& #sÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºs àátãqã ¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºs 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷èt ÷LäêRr&ur w tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
Artinya: “apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu
dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah:
232)
Imam Syafi’I rahimahullah berkata: ayat ini adalah
bukti paling kuat dalam mengambil tanggapan kedudukan wali. Jika kedudukan wali
tidak diambil, tentulah dia tidak kuasa menghalang pernikahan.
Al-Qur’an yang merupakan landasan ontologis
kajian-kajian ilmu keislaman mengungkapkan tentang kedudukan wali mujbir
dalam perkawinan. Namun dari ayat tersebut masih bersifat global dalam
mengintroduksikan (memperkenalkan) konsep wali mujbir, karena dari ayat
tersebut terungkap adanya dimensi-dimensi yang harus diperhatikan,
fakultas-fakultas yang harus dilalui dari adanya nilai-nilai perkawinan dalam
mengkaji dan memperoleh tentang wali mujbir, sehingga untuk menjadikan sebuah
konsep atau rumusan perlu adanya pengkajian yang lebih serius dan kritis
Tujuan Islam diturunkan Allah SWT di
tengah-tengah manusia adalah untuk menegakkan kemaslahatan. Teks al-Qur'an
menggarisbawahi bahwa syari'at Islam ditegakkan di muka bumi sebagai rahmatan
lil'alamin, membawa visi dan misi sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dengan pertimbangan kemaslahatan tersebut,
hukum Islam yang terkandung di dalamnya perintah dan petunjuk untuk menjalani
kehidupan di dunia ini harus menjamin kemaslahatan manusia. Fiqh sebagai produk
pemikiran manusia senantiasa bertolak dari paradigma kemaslahatan yang
universal. Dalam konteks inilah, sekalipun Islam dikenal sebagai agama wahyu
dan ajaran-ajarannya itu merupakan firman Tuhan, Islam dengan teks al-Qur'an
dan hadits Nabi S.A.W. merupakan produk sejarah dari ide dialog universalitas
Tuhan dengan realitas empirik yakni realitas sosial dan budaya yang
mengitarinya.
Pada dasarnya, Fiqh merupakan kajian integral
dari syari'at Islam yang harus mengutamakan kemaslahatan secara holistik. Dalam
realitas kontemporer, fiqh dijadikan satu pijakan (legal formal) untuk
menghukumi sehingga tradisi keagamaan yang dominan adalah tradisi fiqh yang
sangat konvensional dengan produk hukumnya. Dalam kenyataan, fiqh seringkali
melegitimasi tradisi masyarakat yang bias gender disebabkan tradisi fiqh sangat
dominan menjadikan laki-laki sebagai "subyek". Artinya tradisi
Fiqh tidak bisa lepas dari latar belakang mujtahid, segi intelektualitas,
sosial dan budaya tertentu. Karena, seandainya lepas dari konteks sosial,
mereka tidak akan relevan pada masa itu, bahkan produk pemikiran mereka
dianggap imajinasi abstrak.
Salah satu syarat perkawinan dalam Fiqh menurut
jumhur ulama adalah adanya wali. Sehingga adanya kerelaan kedua pihak antara
wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki (ijab qabul) juga menjadi
syarat sah akad perkawinan dianalogikan dengan jual beli. Namun dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat mengenai hak menentukan pilihan apakah menjadi hak
wanita atau hak wali. Pendapat di antara fuqaha' tentang hak ijbar dalam
menentukan pilihan terutama perbedaan pendefinisian kata secara etimologi dan
penggunaan al-Qiyas dalam wilayah ijma'.
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan
orang berada dibawah perwaliannya meskipun tanpa mendapatkan izin dari orang
itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke
atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di
bawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar.[3]
Adapun orang yang boleh dipaksa menikah oleh wali mujbir adalah sebagai
berikut:
1.
Orang yang kehilangan kecakapan
bertindak hukum,seperti anak kecil dan orang gila. Jumhur ulama kecuali Imam
Syafi’i, menyatakan sepakat bahwa anak kecil yang belum akil balig, baik ia
laki-laki ataupun perempuan, janda atau perawan, dan orang gila boleh dipaksa
menikah.
2.
Wanita yang masih perawan tetapi
telah balig dan berakal.
3.
Wanita yang telah kehilangan
keperawanannya, baik karena sakit, dipukul, terjatuh ataupun disebabkan karena
berzina. [4]
Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis
keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk
dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal.
Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika
penting untuk kebaikan putrinya.
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang
gila, anak-anak yang belum mencapai umur tamyiz boleh dilakukan wali mujbir
atas dirinya, sebagaimana dengan orang-orang yang kurang kemampuannya, seperti
anak-anak dan orang yang akalnya belum sempurna, tetapi belum tamyiz
(abnormal).
Oleh karena itu, wali mujbir
yang mengawinkan perempuan gadis di bawah perwaliannya tanpa izin gadis
bersangkutan disyaratkan:
1.
Laki-laki
pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan.
2.
Antara
wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan.
3.
Antara
gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
4.
Calon
suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai.
5.
Laki-laki
pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap isteri dengan
baik, dan tidak terbayang akan berbuat yang akan mengakibatkan kesengsaraan
isteri. [5]
Adanya lembaga wali mujbir
dalam hukum perkawinan Islam adalah atas pertimbangan untuk kebaikan gadis yang
dikawinkan, sebab sering terjadi seorang gadis
tidak pandai memilih jodohnya dengan tepat. Apabila gadis dilepaskan
untuk memilih jodohnya sendiri, dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian pada
gadis itu sendiri dikemudian hari, misalnya dari segi pemeliharaan
keagamaannya, dan lain sebagainya.
Realitas masyarakat sekarang
khususnya di Indonesia, terdapat banyak wanita yang melakukan kegiatan publik,
transaksi mu'amalah, ikut menanggung beban keluarga bahkan ikut dalam politik
kenegaraan. Namun banyak orang tua atau wali yang menjodohkan anak-anak mereka
tanpa persetujuan anak tersebut bahkan tidak jarang ada yang menjodohkan mereka
ketika masih kecil (belum dewasa). Padahal tujuan perkawinan yang sangat suci
itu yang diperlukan kesiapan jasmani maupun rohani dan kematangan jiwa agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di tengah perjalanan kehidupan
rumah tangga seperti persengketaan, percekcokan yang berkepanjangan dan
berakhir dengan perceraian. Dengan demikian, menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan sangat diperlukan demi terciptanya kemaslahatan secara umum bahkan
kepentingan yang berpihak kepada golongan. Hal ini senada dengan al-Qawaid
al- Fiqhiyyah:
د رء المفاسد مقد م على جلب المصالح
Artinya:
“menghindari/menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik
kemashlahatan”.[6]
Laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak yang
sama dalam pemilihan jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi
pendampingnya di masa depan, demi keharmonisan, kebahagiaan, kesejahteraan,
ketenteraman dan ketenangan dalam kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu,
ajaran Islam memberi tuntunan dalam menentukan pilihan.
Dalam kehidupan sekarang, hak ijbar tidak
dapat lagi dipertahankan, apalagi hal ini bertentangan dengan prinsip
kemerdekaan. Karena pernikahan dalam Islam merupakan sebuah kontrak
antara dua pasangan yang setara maka siapapun yang menyelenggarakan pernikahan
tidak dapat bertindak melaksanakan tugasnya tanpa memastikan persetujuan
pengantin perempuan dan syarat yang ingin ditetapkannya, termasuk besar maskawin
yang ingin didapatkan dari calon suaminya. Demikianlah akan terlihat bahwa
tanpa persetujuan seorang perempuan, dan persetujuan syarat-syarat yang
dimintanya, sebuah pernikahan tidak dapat terjadi. Jelaslah perempuan merupakan
mitra sejajar dalam kesepakatan kontrak perkawinan.
Kata ijbar
sendiri menurut arti bahasa adalah al-Qahru (memaksa), al-Ilzamu
(pemaksaan). Sedang menurut istilah, ijbar yaitu hak memilih dan
menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Dalam
pengertian fiqh, bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan tanpa
dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yakni: pertama, bagi
perempuan yang masih gadis. Kedua, bagi janda yang keperawanannya hilang
bukan akibat hubungan seksual. Artinya, hilangnya keperawanan itu bukan sebab
masuknya penis ke vagina, tetapi karena jatuh, memasukkan jari dan semacamnya.[7]
Setelah menjelaskan definisi ijbar dan wali mujbir serta
dasar hukum ijbar wali dalam pernikahan, selanjutnya penyusun memaparkan
pendapat ulama fiqh mengenai ijbar. Tentang persoalan ini tidak bisa
dilepaskan dengan wali mujbir sebagai obyeknya.
Dalam ajaran fiqh, seorang perempuan yang masih perawan yang akan
dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin
tersebut adalah "diam". Tetapi, di samping itu orang tua, terutama
bapak dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan pilihan pasangan
hidupnya. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang
dikenal dengan hak ijbar.
Hak ijbar oleh banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (bapak
atau kakek) untuk menjodohkan anak atau cucu perempuan. Hal ini menimbulkan
asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa.[8]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai
'illat hukum berupa sikap diamnya si gadis:
1.
Golongan pertama memandang
bahwa yang menjadi sebab ('illat) hukum agama yang berupa pernyataan
izin dari gadis cukuplah dengan sikap diamnya adalah sifat pemalunya. Tegasnya,
sifat pemalu adalah kriteria yang menentukan seorang wanita dipandang sebagai
(berstatus) gadis. Termasuk ke dalam golongan pertama ini antara lain adalah
Imam abu Hanifah dan Imam Malik. [9]
2.
Golongan kedua memandang bahwa yang menjadi 'illat
hukum agama yang berupa pernyataan izin dari gadis cukuplah dengan sikap
diamnya adalah karena keperawanannya yang masih utuh. Tegasnya,
keperawanan yang masih utuh adalah kriteria yang menentukan seorang wanita
dipandang sebagai gadis. Termasuk ke dalam golongan ini antara lain adalah Imam
asy-Syafi'i dan Imam Ahmad. [10]
Atas dasar pandangan tersebut, menurut golongan yang pertama, gadis yang
hilang keperawanannya dengan persetubuhan haram (zina) tetap dihukumi gadis
selama tidak diketahui umum, karena sifat pemalunya masih terpelihara. Sedang
yang masih utuh keperawanannya karena dicerai oleh suaminya yang impoten
disamakan dengan hukum janda. Dari sini dapat juga dikatakan bahwa golongan ini
menggunakan istilah janda menurut pengertian urfi, yaitu yang pernah bersuami
walaupun keperawanannya masih utuh.
Sedangkan menurut golongan kedua adalah sebaliknya. Wanita yang hilang
keperawanannya dengan jalan zina (walaupun dengan benda lain), menurut sebagian
kalangan Syafi'iyah hukumnya adalah janda. Sedangkan yang masih utuh
keperawanannya karena dicerai oleh suaminya tetap dihukumi gadis. Jadi,
golongan kedua ini memandang janda menurut pengertian bahasa, yaitu yang belum
hilang keperawanannya.
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’iy
Kaitannya dengan kebebasan dan persetujuan wanita (calon istri) dan
perkawinan, Imam asy-Syafi'i mengklasifikasikan wanita kepada tiga kelompok,
yakni: 1). gadis yang belum dewasa, 2). gadis dewasa, dan 3). janda. Untuk
gadis yang belum dewasa, yang batasan umurnya adalah belum berusia lima belas
tahun atau belum keluar darah haid, seorang bapak boleh menikahkan tanpa
seizinnya lebih dahulu, dengan syarat menguntungkan dan tidak merugikan si
anak. Sebetulnya, wali tidak boleh memaksa menikahkan kalau merugikan atau
menyusahkan seorang anak.
Dasar penetapan hak ijbar menurut Asy-Syafi'i adalah tindakan Nabi
yang menikahi ‘Aisyah ketika masih berusia enam atau tujuh tahun dan mengadakan
hubungan setelah berumur sembilan tahun. Tindakan Abu Bakar yang menikahkan
anaknya yang masih belum dewasa ini, ditambah dengan alasan bahwa semua urusan
anak kecil merupakan tanggungjawab orang tuanya, oleh Asy-Syafi'i dijadikan
dasar untuk menetapkan adanya hak ijbar bapak pada anak yang belum
dewasa. Dengan catatan, gadis berhak memilih (khiyar) kalau kelak sudah
dewasa.[11]
Adapun perkawinan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak
(wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada paham sebaliknya (mafhum
mukhalafah) hadits yang mengatakan, "janda lebih berhak pada
dirinya". Menurut Asy-Syafi'i, mafhum mukhalafah hadits ini adalah
bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya. Meskipun
dianjurkan musyawarah antara kedua belah pihak (anak gadis dewasa tersebut
dengan wali atau bapak). [12]
Dari penjelasan Asy-Syafi'i di atas terlihat bahwa dalam mengenai gadis
dewasa pun hak wali (bapak) melebihi hak gadis. Menurut As-syafi'i izin gadis
bukan lagi suatu keharusan (fard) tetapi hanya sekedar pilihan (ikhtiyar).
Pandangan beliau bahwa bapak (wali) boleh mengurusi wanita dalam pernikahannya
apabila pernikahan tersebut menguntungkan bagi wanita dan tidak mendatangkan
madarat. Sebagaimana dibolehkan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh
bapak atas nama wanita bikr dengan tidak mendatangkan madarat atasnya
pada penjualan dan pembelian tersebut. Alasan rasio bahwa gadis belum mengetahui
tentang hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan karena belum punya
pengalaman. Jadi walaupun gadis itu dewasa dalam hal ini disamakan dengan gadis
yang belum dewasa di mana bapak mempunyai hak ijbar terhadapnya. Oleh
karena itu, yang menjadi ‘illat diperbolehkannya ijbar adalah
kegadisan. Perwalian ini bersifat langgeng hingga wanita itu dewasa atau balig
selama masih dalam keadaan gadis.
Menurut Al-Imam Hanafiy
Imam Hanafi berpendapat bahwa diperbolehkannya ijbar karena adanya
‘illat (alasan atau dasar) tidak adanya keahlian bagi anak yang masih
kecil, orang gila, kurang akal, tidak mumayyiz. Lebih lanjut Imam Hanafi
memaparkan bahwa wali nikah tidak berhak menikahkan anak perempuannya baik
janda maupun gadis dewasa. Menurut beliau adalah mereka yang ssudah balig dan
berakal sehat atau dalam bahasa Arab disebut al-baligah al-‘aqillah. Landasan analogi (qiyas) gadis
dewasa yang disamakan dengan janda, kesamaannya terletak pada sisi kedewasaan,
bukan pada status gadis tersebut. Kedewasaan seseorang memungkinkan dirinya
untuk menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada di dalam hati atau
pikirannya. Ia juga dapat mengerjakan sesuatu secara terbuka dan tidak
malu-malu. Oleh karena hal ini, maka gadis dewasa dapat disamakan dengan perempuan
janda. [13] Sedangkan janda, baik yang masih kecil maupun
yang sudah dewasa, menurut asy-Syafi'i, wali mujbir tidak boleh
menikahkan janda yang masih kecil atau sudah dewasa tanpa izin atau persetujuan
darinya karena ia lebih berhak terhadap dirinya dalam masalah perkawinan.
Ada pemetaan yang menarik yang
dibuat oleh Ibn Rusyd tentang ikhtilaf ulama berkaitan dengan hak bagi wanita
yang dapat dirinci secara garis besar sebagai berikut:
1.
Ulama sepakat bahwa untuk para
janda, maka harus ada kerelaan.
2.
Ulama berbeda pendapat tentang
seorang gadis perawan yang sudah balig. Menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i
daan Ibnu Abi Laila, yang berhak memaksa perempuan yang masih perawan hanyalah
bapak. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Imam as-Sauri, Imam al-Auza’i, Abu Sur,
dan sebagian lainnya wajib ada rida (persetujuannya).
3. Janda
yang belum balig, menurut Imam Malik dan Imam Hanafi dapat memaksanya untuk
menikah. Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i tidak boleh dipaksa. Sedangkan
ulama mutaakhirin mengklasifikasikannya menjadi tiga pendapat, yaitu: pertama,
menurut Imam Asyhab bahwa seorang bapak dapat memaksa untuk menikahkan janda
selama ia belum balig setelah dicerai. Kedua, pendapat Imam Sahnun
bahwa bapak dapat memaksanya walaupun sudah balig. Ketiga, pendapat
Imam Abi Tamam bahwa bapak tidak dapat memaksanya walaupun ia belum balig. [14]
Berkaitan dengan apakah wali menjadi syarat sahnya
nikah atau bukan, para ulama mazhab fiqh berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i
mengatakan bahwa wali merupakan syarat sahnya pernikahan. Sedangkan imam Abu
Hanifah menyatakan bahwa jika seorang perempuan melakukan akad nikah dengan
tanpa wali, sedang antara ia dan suaminya itu sekufu maka hukumnya boleh (sah
nikahnya). Sementara Imam Dawud membedakan antara janda dan perawan.
Menurutnya, wali menjadi syarat bagi perawan tetapi tidak menjadi syarat bagi
janda.
Demikian
artikel ini disusun semoga memberikan manfaat, khususnya:
Penulis. Diharapkan dapat
memperdalam tentang kedudukan wali mujbir dalam perkawinan dan memperluas
wawasan dalam bidang penelitian, sehingga dapat dijadikan sebagai latihan dan
pengembangan teknik-teknik yang baik khususnya dalam membuat karya tulis
ilmiah.
Pembaca. Diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran dan referensi untuk
dikaji lebih mendalam serta dapat dikembangkan lebih detail lagi tentang
kedudukan wali mujbir menurut pandangan imam mazhab. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk perbaikan-perbaikan yang lebih sempurna, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata
[1] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2115281-tujuan hukum islam /#ixzz1o0er0UYM. di akses tanggal 14-03-2014. Pukul 12.00
[2] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2115281 - turunnyaal - quran /#ixzz1o0er0UYM. di akses tanggal 14-03-2014. Pukul 12.00
[3]
Abdul Ghofur Anshori. Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. (Yogyakarta:
UII Press.2011). hlm.40
[4] Ibid.
hlm.40
[5] Ibid.
hlm.41
[6]
Abdul Mudjib. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam
Mulia,2001).hlm.39
[7]
Aliy As’ad. Tarjamah Fathul Mu’in Jilid 3.(Yogyakarta: Menara
Kudus.1979). hlm.48
[8] Mudhofar
Badri, dkk . Panduan Pengajaran Fiqh di Pesantren, (Yogyakarta:Yayasan
Kesejahteraan Fatayat, 2002). Hlm.75
[9] Ibid.
Hlm.77
[10] Ibid.
Hlm.78
[11] Hosen Ibrahim. Fiqh
Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). Hlm.85
[12] Ibid.
Hlm.85
[13] Ibid. Hlm.90
[14] Ibid. Hlm.90
No comments:
Post a Comment