Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy
Thariqat itu adalah suatu sikap hidup orang yang teguh pada pegangan yang genap, ia
selalu waspada dalam kemantapan beribadah, bersikap wara' dalam berperilaku dan senantiasa beriyadhah (latihan) an kulli dzy ruhin wa maa khoroja anhu.
Para
Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan
berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan
rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah.
Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati
melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut
al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat
syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu
pilihan bagi ahli thariqat.
Imam
al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah
adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan
sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang
meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat
agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni
menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas
asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan,
atau disimpan.
Tingkat
yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa).
Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir
kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan
orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai
pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan
barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin
Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal
karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat
yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur).
Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya
hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah
berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada
masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia
mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya
pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad,
"Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu
orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami
boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan
kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada
cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan
memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu
Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang
mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk
seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin
membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga,
saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari
tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk
menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat
puluh tahun lamanya".
Dikisahkan
juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi
ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya.
Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia
merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang
membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai
orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal
yang sangat lama".
Imam
Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur
Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan
dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi
milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua
bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang
tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta
menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah
milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji
kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan
meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan
bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk
mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan
al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib,
ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry
bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya:
"yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak
agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu
mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang
ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah
beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang
mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para
sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata
wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh
kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat
menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri
dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya
riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur,
menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang
berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi
SAW bersabda: "Cukuplah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk
menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia
membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga
lagi untuk bernafas".
Dalam
hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam
neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu
adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk
perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan
kesia-siaan".
Oleh
karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam
perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan
mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan. Wallahu A'lam bisshawab
No comments:
Post a Comment