HIKMAH DILARANGNYA PERKAWINAN ANTAR
SAUDARA
DITINJAU DARI KONSEP GENETIKA
Oleh: Jawi”Marbawi”Al-Kurdy
Dalam
ilmu genetik, pernikahan dengan sesama kerabat keluarga (sampai sejauh sepupu
II -great grandparents yang sama) disebut dengan consanguineous
marriage. Secara umum consanguineous marriage diterjemahkan sebagai
perkawinan sedarah.
Penelitian-penelitian
secara populasional menunjukkan bahwa anak-anak hasil perkawinan sedarah ini
memiliki risiko lebih besar menderita penyakit-penyakit genetik tertentu.
Terutama yang sifat penurunannya autosomal recessive (lihat “Apakah anak
bisa normal jika menikahi keluarga albino?” dan “Risiko menikahi pasangan dari
keluarga pengidap Thalassemia”).
Pada
sifat penurunan seperti ini, pembawa (carrier) tidak akan menunjukkan
tanda-tanda penyakit apapun. Sementara itu karena orang-orang dalam satu
keluarga memiliki proporsi materi genetik yang sama, maka suami istri yang
memiliki hubungan saudara juga memiliki risiko membawa materi genetik
yang sama.
Jika
salah satu adalah carrier suatu penyakit autosomal recessive,
maka terdapat kemungkinan bahwa yang lain juga pembawa. Seberapa besar
kemungkinannya bergantung pada seberapa dekat kekerabatannya.
Dalam
hal ini, jika orangtua dari suami adalah saudara kandung dari orang tua istri,
kemungkinannya tentu lebih besar dibandingkan jika orangtua suami adalah
sekedar saudara jauh dari orang tua istri.
Anak
yang dihasilkan dari perkawinan (sedarah maupun tidak) dimana kedua orang
tuanya adalah pembawa suatu penyakit genetik autosomal recessive dapat
menderita penyakit tersebut (dengan kemungkinan 25%), dapat menjadi carrier
juga (dengan kemungkinan 50%) atau sama sekali sehat dan bukan carrier
(dengan kemungkinan 25%).
Dilihat
dari sudut pandang agama seperti Islam.
Tidak
ada satupun hal yang diharamkan Al-Qur'an yang tidak mengandung madharat
(bahaya). Kalaupun dari segi tertentu manfaat bisa ditemukan, tetap saja
madharat lebih mendominasi. Kalaulah madharat tersebut tidak langsung menimpa
individu, ia bisa menimpa keluarga, atau masyarakat luas.
Ini
pula yang terjadi dalam kasus inbreeding, ah incest saja. Bahwa ada
penemuan incest dipraktekkan dalam masyarakat tertentu untuk menjaga
keunggulan trah (garis keturunan) dan ternyata tidak ada akibat negatif,
hal itu tidak berarti bahwa secara logika incest menjadi sah-sah saja. Namun
sekali lagi, tidak ada sesuatu yang diharamkan Islam yang tidak mengandung
bahaya.
Sehingga
boleh jadi secara dlohir incest (baik karena sedarah maupun sepersusuan)
bagi penjagaan galur murni ini tidak ada bahaya, namun bisa saja secara
kejiwaan dan moral bisa berbahaya. Apalagi jika dihadapkan pada agama.
Semua
agama tanpa dikomando menganggap praktek incest sebagai sesuatu yang terlarang.
Demikian pula perasaan moral masyarakat secara kolektif, baik yang
dibentuk oleh agama maupun yang dibentuk oleh akal budi, menolak praktek ini sebagai bentuk penyaluran naluri seksual manusia. Sekalipun argumen dan pendekatannya berbeda-beda, pembahasan incest dari sudut pandang agama-agama selalu berujung pada kesimpulan yang sama : HARAM !!!
dibentuk oleh agama maupun yang dibentuk oleh akal budi, menolak praktek ini sebagai bentuk penyaluran naluri seksual manusia. Sekalipun argumen dan pendekatannya berbeda-beda, pembahasan incest dari sudut pandang agama-agama selalu berujung pada kesimpulan yang sama : HARAM !!!
Tak
tahu lagi kalau ternyata ada gerakan-gerakan pembaharu (perusak) agama yang
malah embolehkan bahkan mempropagandakan konsep pemicu kebinasaan ini.
"Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An Nisaa`: 23)
Dimasukkannya
incest (baik karena sedarah maupun sepersusuan) dalam masalah pernikahan
sesungguhnya sangat logis. Sebab, Al-Qur'an hanya mengenal pernikahan sebagai
satu-satunya jalan menuju kehalalan hubungan seks.
Siapa yang boleh dinikahi maka sah saja berhubungan seks. Sebaliknya siapa yang haram dinikahi maka
dia tidak boleh diajak berhubungan seks,
apapun alasannya.
Berdasarkan
logika ini maka hubungan seks sedarah atau
sepersusuan baik karena zina maupun perkosaan adalah hal yang keharamannya
berlapis-lapis. Incest dengan cara zina (suka sama suka) menabrak dua garis
keharaman sekaligus yakni haram menikah dan haram berhubungan seks di luar nikah. Lebih dari zina, incest
dengan perkosaan menabrak satu lagi garis keharaman yakni merampas kehormatan
perempuan secara paksa.
Secara
eksplisit Al-Qur'an memang tidak menjelaskan mengapa menikahi mahram
diharamkan. Ini cara yang biasa ditempuh Al-Qur'an ketika mengharamkan sesuatu
yang madharatnya mudah diketahui atau dirasakan akal sehat.
Berbeda
dengan keharaman khamr dan riba, misalnya, Al-Qur'an menempuh beberapa fase dan
memberikan penjelasan untuk meyakinkan alasan pengharaman karena hal itu banyak
dipraktekkan orang dan dirasakan ada unsur manfaatnya meski tidak sebesar
madharatnya. Meskipun setelah Al-Qur'an sudah sempurna turun, khamr dan riba
pun juga sempurna keharamannya, tidak lagi bertahap.
Keharaman
incest (baik sedarah maupun sepersusuan) tampaknya dipandang sebagai hal yang
mudah diterima akal sehat. Jadi kenapa dibuat repot?
Dari
`Uqbah ibn Harits bahwa dia menikahi anak perempuan Ihab ibn `Azis. Maka datang
kepadanya seorang perempuan maka (dia) berkata, "Sesungguhnya saya telah
menyusui `Uqbah dan (perempuan) yang dia nikahi." Maka berkata kepadanya
`Uqbah, "Aku tidak tahu kalau engkau telah menyusuiku dan engkau tidak
pula memberitahuku." Maka (`Uqbah) berkendara menuju Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam di Madinah, maka dia bertanya kepada beliau. Maka bersabda
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, "Bagaimana (lagi) padahal sudah
dikatakan (bahwa kalian adalah bersaudara susuan)?" Maka `Uqbah
menceraikannya (istri) dan menikahi istri (perempuan) selainnya. (HR Bukhari)
Begitulah,
berdasar keterangan yang berupa pengakuan dari seorang ibu (susuan) maka
pernikahan yang telah terjadi itu pun mesti dibatalkan (cerai) karena
ke-mahram-an pada keduanya. Dari kisah itu kita bisa tahu betapa dahulu mereka
amat menjaga pengetahuan tentang siapa saja yang bersaudara susuan. Jadi
meskipun menyusukan anak kepada orang lain adalah kebiasaan orang Arab kala
itu, namun pengetahuan tentang hubungan mahram ini tetap terjaga.
Sehingga
ketika didapati seseorang melanggar batasan ini, ada orang yang segera
memberitahukannya. Boleh jadi perempuan itu telah lalai karena tidak
memberitahukan persaudaraan antara `Uqbah dan istrinya, namun kita bisa juga
memaham bahwa dengan cara beginilah Allah hendak memberitahukan kepada kita
betapa pentingnya bagi kita mengetahui hubungan kemahraman atas dasar susuan.
Allah berikan shock therapi kepada kita agar tak lupa dengan kejadian ini.
Begitulah
Islam. Selain perkara ibadah khas yang telah diatur sedemikian rupa, ternyata
dalam hubungan antar manusia pun Islam mengatur sedemikian detailnya. Banyak
hikmah dari pengaturan ini, yang salah satunya kelak terungkap lewat peran ilmu
pengetahuan yang meneliti dampak buruk perkawinan sedarah atau saudara dekat
yang dalam syara' disebut sebagai mahram (orang yang haram dinikahi). Awas
bukan muhrim lho. Kalau muhrim itu orang yang sedang ihrom di Baitullah.
Maha
Suci Allah dengan segala kekuasaan-Nya. Sungguh, apa-apa yang ditetapkan Allah,
ada manfaat yng bisa diambil.
Segala
puja & puji bagi ALLAH,,, Qur'an TERBUKTI Sepanjang Masa
No comments:
Post a Comment