Tuesday, October 21, 2014

STRATEGI BELAJAR SPIRITUAL TEACHING DALAM MEMOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PAI



STRATEGI BELAJAR SPIRITUAL TEACHING
DALAM MEMOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PAI
Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Manusia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah yang lain. Akal merupakan kelebihan yang telah diberikan Allah kepada manusia. Dengan akal manusia mampu belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang dimiliki, seorang manusia mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yaitu memaksimalkan proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia dibekali kecerdasan yang luar biasa dibanding dengan makhluk Allah yang lain.
Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata-mata untuk mencari nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu harus didasari niat beribadah kepada Allah.
Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak didiknya. Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik, panutan bagi orang-orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.
Guru juga seorang manusia dimana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan teladan yang baik bagi peserta didik-peserta didiknya karena setiap sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik (guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.
Alangkah mulia jika guru menjadi teladan bagi peserta didik-peserta didik dalam beribadah, pergaulan, dan perilaku. Dengan ungkapan yang tepat, hendaknya ucapan guru serasi dengan perbuatannya. Imam SyafiĆ­ mewasiatkan kepada pendidik anak-anak khalifah Harun Ar-Rasyid, “Mulailah dalam mendidik anak-anak amirul mukminin dengan mendidik dirimu sendiri. Karena mata mereka tertambat kepada matamu. Baik, menurut mereka adalah apa yang kamu anggap baik, dan buruk bagi mereka adalah apa yang kamu benci.
Keteladanan adalah tindakan paling ampuh dan efektif yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik. Keteladanan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan tanpa banyak kata-kata. Anak kita umumnya lebih senang melihat keteladanan dari pada banyak diceramahi panjang lebar. Menurut Covey: “bahwa kata-kata hanya memberi dampak sekitar 20 persen kepada anak, sedangkan keteladanan memegang peranan yang lebih efektif dan siswa adalah sasaran utama dari proses aktivitas belajar mengajar”.[1] Oleh karena itu, siswa menjadi unsur utama bagi guru untuk dapat berinteraksi.
Kurikulum, sistem pengajaran dan lain-lainnya pada dasarnya dibuat untuk merealisasikan tujuan pengajaran dan pendidikan bagi peserta didik. Berpijak pada posisi peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka perlu diletakkan garis-garis besar dan kaidah-kaidah interaksi dengan peserta didik agar tujuan pengajaran dan pendidikan bisa terealisasikan. Salah satu permasalahan mutu pendidikan yang terjadi saat ini di Madrasah Ibtidaiyah “Mathla’ul Anwar” Cilambur Desa Leuwibatu Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor adalah rendahnya mutu proses pembelajaran seperti strategi mengajar guru yang tidak tepat, kurikulum, manajemen sekolah yang tidak efektif dan  kurangnya motivasi  siswa dalam  belajar.
Realita di lapangan menunjukan bahwa siswa tidak memiliki kemauan belajar yang tinggi, dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Banyak siswa merasa “ogah-ogahan” di dalam kelas, tidak mampu memahami dengan baik pelajaran yang disampaikan oleh guru-guru mereka. Hal ini menunjukan bahwa siswa tidak mempunyai  motivasi yang kuat untuk belajar. Siswa masih mengganggap kegiatan belajar tidak menyenangkan dan memilih kegiatan lain di luar kontek belajar seperti menonton televisi, sms, dan bergaul dengan teman sebaya.
Rendahnya motivasi belajar siswa akan membuat mereka tertarik pada hal-hal yang negatif. Raymond J.W dan Judith mengungkapkan bahwa secara harfiah anak- anak tertarik pada belajar, pengetahuan, seni (motivasi positif) namun mereka juga bisa tertarik pada hal–hal yang negatif  seperti minum obat- obatan terlarang, pergaulan bebas dan lainnya.[2] Motivasi belajar siswa tidak akan lenyap tapi ia akan berkembang dalam cara-cara yang bisa membimbing mereka untuk menjadikan diri mereka lebih baik atau juga bisa sebaliknya. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh guru dan orang tua.

Definisi Strategi Belajar Spiritual Teaching
Kata “strategi” dalam kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[3] Strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan menurut Kemp: “strategi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien”.[4]
Spiritual menurut bahasa adalah batin, kejiwaan, moral dan rohani. Spiritual berasal dari kata spirit, yang mempunyai beberapa arti, yaitu: arwah, hantu, peri, orang, kelincahan, makna, moral, cara berpikir, semangat, keberanian, sukma dan tabiat, dari keduabelas arti tersebut kemudian dipersempit lagi menjadi tiga macam arti saja, yaitu berkaitan dengan “moral”, “semangat”, dan “sukma”.
Kata spiritual sendiri dapat dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat spirit atau berkenaan dengan spirit, dari sini kita dapat mengartikan “spiritual” sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan kita dalam membangkitkan “semangat”, misalnya.[5]  Atau bagaimana kita benar-benar memperhatikan “jiwa” atau “sukma” kita dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi.
Al-Ghazali mengartikan kata spiritual dengan menggunakan empat istilah, yakni al-qalb, al-ruh, al-nafs, al-aql.[6] Keempat istilah tersebut ditinjau dari segi fisik memiliki perbedaan arti, dalam pengertian pertama al-qalb berarti qalb al-jasmani (kalbu jasmani), al-ruh berarti ruh jasmani dan lathif,  al-nafs berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-aql berarti ilmu. Sedangkan dalam pengertian kedua, keempat istilah itu mengandung arti yang sama, yakni jiwa atau spiritualitas manusia yang mempunyai hakikat, diri, dan zat manusia.
Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan rajanya adalah jiwa, wilayahnya adalah tubuh, alat indera dan fakultas badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir (perdana mentri), serta hawa nafsu dan sifat marah sebagai polisinya.[7] Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia ke jalan yang baik dan diridhai Allah. Sebaliknya hawa nafsu dan sifat marah selalu pula mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Demi terciptanya ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia) maka, kekuasaan raja dan wazir harus berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa. Dari ibarat di atas semakin jelaslah bahwa jiwa merupakan hakikat, diri dan zat manusia karena fungsinya besar dalam kehidupan dan di atas-Nya lah tergantung baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat.
Adapun “Teaching” disini berarti mengajar. Mengajar adalah suatu proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Secara tradisional mengajar diartikan sebagai suatu proses penyampaian pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa, sebagaimana yang dituntut dalam penguasaan mata pelajaran tersebut.
Menurut Smith menyatakan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan. Pandangan William H. Burton: “bahwa mengajar adalah upaya dalam memberi perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar”.[8] Yang terpenting dalam mengajar bukan upaya guru menyampaikan materi pembelajaran, tetapi bagaimana siswa mempelajari materi pembelajaran sesuai dengan tujuan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “strategi spiritual teaching” adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya.
Cinta guru terhadap profesinya bisa berwujud profesionalisme, totalitas, ketulusan, kesabaran, dan kerelaan dalam menghadapi resiko-resiko yang harus ditanggung.Adapun cinta guru terhadap siswa diberikan melalui kedekatan, keakraban, penerimaan yang tulus, atau cairnya hubungan yang terbangun bersama mereka. Curahan cinta, kasih dan sayang guru kepada siswa akan menghasilkan sesuatu yang spektakuler, yaitu respons balik dari siswa berupa cinta, kepatuhan dan prestasi.

Langkah-langkah Strategi Belajar Spiritual Teaching
Alangkah mulia jika guru menjadi teladan bagi peserta didik-peserta didik dalam beribadah, pergaulan, dan perilaku. Dengan ungkapan yang tepat, hendaknya ucapan guru serasi dengan perbuatannya. Imam SyafiĆ­ mewasiatkan kepada pendidik anak-anak khalifah Harun Al-Rasyid: “Mulailah dalam mendidik anak-anak amirul mukminin dengan mendidik dirimu sendiri, karena mata mereka tertambat kepada matamu, baik menurut mereka adalah apa yang kamu anggap baik, dan buruk bagi mereka adalah apa yang kamu benci”.[9]
Keteladanan adalah tindakan paling ampuh dan efektif yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik. Keteladanan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan tanpa banyak kata-kata. Anak kita umumnya lebih senang melihat keteladanan dari pada banyak diceramahi panjang lebar. Menurut Covey: “bahwa kata- kata hanya memberi dampak sekitar 20 persen kepada anak”.[10] Sedangkan keteladanan memegang peranan yang lebih efektif. Peserta didik adalah obyek dan sasaran utama dari proses aktivitas belajar mengajar dan pendidikan. Oleh karena itu, dialah unsur utama yang dengannya seorang guru berinteraksi. Kurikulum, sistem pengajaran dan lain-lainnya pada dasarnya dibuat untuk merealisasikan tujuan pengajaran dan pendidikan bagi peserta didik.
Berpijak pada posisi peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka perlu diletakkan garis-garis besar dan kaidah-kaidah interaksi dengan peserta didik agar tujuan pengajaran dan pendidikan bisa terealisasikan. Tumpuan itu semua adalah akhlak yang baik.

Spiritual Teaching Sebagai Konsep Yang Melibatkan IQ, EQ, SQ
Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses belajar mengajar tertentunya mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan tugasnya. Strategi spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa semangat dan senang dalam belajar.
Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa tolak ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Seorang guru yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak bertindak tidak patut dan semestinya.
Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk mulai menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai religius. Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar/ learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang menantang atau problematis (Problematical Learning/IQ), menyenangkan (Joyful Learning/ EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/SQ). Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Dalam dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) perlu mendapat perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan

Mengembangkan Kecerdasan Spritual
Salah satu kecerdasan yang masih tren saat ini adalah kecerdasan spritual. Kecerdasan yang bermula dari penemuan daerah God Spot pada otak dan  jaringan syaraf ini begitu banyak menarik perhatian para cendekia atau orang biasa.
Menurut Khalil Khavari: “bahwa kecerdasan spritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita (roh manusia). Inilah “intan” yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kecerdasan spritual adalah benda yang sangat berharga dalam diri manusia, yang alat untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat”[11]. Apabila dalam kecerdasan emosional kita mengenal bagaimana mengenali emosi kita, emosi orang lain, dan menggunakannya untuk berhubungan dengan orang lain, maka dalam kecerdasan spritual kita menggunakan seluruh potensi diri kita untuk bukan hanya menjaga hubungan dengan sesama manusia tetapi juga menjaga hubungan dengan Sang Pencipta.
Pada era sebelum ditemukannya kecerdasan ini, dokter cenderung menyarankan pasien yang menderita depresi untuk menggunakan obat penenang seperti Prozak. Namun saat ini, pengobatan semacam itu telah mulai ditinggalkan dan beralih pada metode kebermaknaan. Saat ini orang yang menderita depresi diminta untuk melakukan amal seperti bersedekah atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini terbukti dapat membantu penderita depresi untuk memperbaiki jalan hidupnya. Ia dapat menemukan jalan hidupnya bagi orang lain dan menemukan makna kehidupannya di dunia ini. Inilah salah satu bentuk kecerdasan spritual.
Dalam batasan nilai, kecerdasan spritual menuntun kita untuk membedakan jahat dan baik, menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku untuk kepentingan bersama yang dilandasi suatu pemahaman yang integral. Kecerdasan spritual sangat memungkinkan kita untuk melihat makna di balik suatu kejadian atau peristiwa

Motivasi Belajar Siswa
Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif atau daya menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu[12]. Dalam hal belajar motivasi diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan serangkaian kegiatan belajar guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tugas guru adalah membangkitkan motivasi anak sehingga ia mau melakukan serangkaian kegiatan belajar. Motivasi siswa dapat timbul dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) dan dapat timbul dari luar diri siswa/motivasi ekstrinsik[13].
Motivasi instrinsik merupakan motivasi yang timbul sebagai akibat dari dalam diri individu tanpa ada paksanan dan dorongan dari orang lain, misalnya anak mau belajar karena ingin memperoleh ilmu pengetahuan atau ingin mendapatkan keterampilan tertentu, ia akan rajin belajar tanpa ada suruhan dari orang lain. Sebaliknya motivasi ekstrinsik timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan  kondisi yang demikian akhirnya ia mau belajar.
Kegiatan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Rendahnya kepedulian orang tua dan guru, merupakan salah satu penyebab sulitnya menumbuhkan motivasi belajar anak. Fakta yang terjadi selama ini menunjukan bahwa  ketika ada permasalahan tentang rendahnya motivasi belajar siswa, guru dan orang tua terkesan tidak mau peduli terhadap hal itu, guru membiarkan siswa malas belajar dan orang tua pun tidak peduli dengan kondisi belajar anak. Maka untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa orang tua dan guru perlu mengetahui penyebab rendahnya motivasi belajar siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pengajaran Berbasis Motivasi
Pengajaran tradisional menitikberatkan pada metode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting bagi guru atau peserta didik. Cara ini tidak mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak dengan kesanggupan, kebutuhan, minat, dan tingkat kesanggupan/perkembangan, serta pemahaman peserta didik. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan itu didasarkan atas motif-motif dan tujuan yang ada pada peserta didik.
Sejak adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi tentang kepribadian dan tingkah laku manusia, serta perkembangan dalam bidang ilmu pendidikan maka pandangan tersebut kemudian berubah. Faktor peserta didik justru menjadi unsur yang menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran yang disampaikan oleh guru. Tokoh pendidikan yang memulai pandangan baru ini, antara lain: Dr. Ovide Dicroly, yang terkenal dengan pengajaran berdasarkan “pusat minat”, anak makan, pakaian, permainan/bekerja. Kemudian menyusul tokoh pendidikan lainnya seperti Dr. John Dewey, yang terkenal dengan “pengajaran proyeknya”, yang berdasarkan pada masalah yang menarik minat siswa, sistem persekolahan lainnya. Sehingga sejak itu pula para ahli berpendapat, bahwa tingkah laku manusia didorong oleh motif-motif tertentu, dan perbuatan belajar akan berhasil apabila didasarkan pada motivasi yang ada pada peserta didik. Peserta didik dapat dipaksa untuk mengikuti sesuatu perbuatan, tetapi ia tidak dapat dipaksa untuk menghayati perbuatan itu sebagaimana mestinya.
Seekor kuda dapat digiring ke sungai tetapi tak dapat dipaksa untuk minum. Demikian juga halnya dengan peserta didik, guru dapat memaksakan bahan pelajaran kepada mereka, akan tetapi guru tidak mungkin dapat memaksanya untuk belajar dalam arti sesungguhnya. Inilah yang menjadi tugas guru yang paling berat, yakni bagaimana caranya berusaha agar peserta didik mau belajar dan memiliki keinginan untuk belajar secara kontinu.
Demikian artikel ini disusun semoga memberikan manfaat bagi guru dalam memodifikasi sekaligus menerapkan berbagai metode pembelajaran khususnya pada strategi belajar spiritual teaching dalam memotivasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI. Bagi penulis, dapat menambah pengetahuan yang lebih matang dalam bidang pengajaran dan menambah wawasan dalam bidang penelitian, sehingga dapat dijadikan sebagai latihan dan pengembangan teknik-teknik yang baik khususnya dalam membuat karya tulis ilmiah, juga sebagai kontribusi nyata bagi dunia pendidikan.


[2] Wlodsowski R.J  & Jaynes J.H. Hasrat Untuk Belajar. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2004). hal.65
[3] Qonita Alya. Kamus Bahasa Indonesia untuk Pendidikan Dasar. (Jakarta: PT. Indahjaya Pratama, 2009).hlm.751
[4] Abin Syamsuddin.  Psikologi Pendidikan. (Bandung : PT Rosda Karya Remaja, 2003).hlm.69
[5] Qonita Alya. Ibid. hlm.748
[6] Imam Al-Ghazali. Minhajul Abidin (Petunjuk Ahli Ibadah). (Surabaya: Mutiara Ilmu.1995). hlm.117
[7] Ibid. hlm.120
[8] Sukmadinata,dan Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.(Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2005).hlm.126
[9] Syeikh Nawawi Al-Bantany, Alih Bahasa Zainal Arifin Yahya. Bahjatul Wasail Bi Syarhil Masail. (Jakarta: Pustaka Mampir.2005). hlm.18
[10] Daniel Goleman. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, (PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000).hlm.195
[11] Asep Dadang. Mencerdaskan Potensi IQ, EQ dan SQ. (Bandung: PT. Globalindo Universal Multi Kreasi.2007). hlm.78
[12] Usman Uzer. Menjadi Guru Profesional. (Bandung:  Remaja Rosdakarya. 2008). hlm.45
[13] Ibid. hlm.48

No comments:

Post a Comment