STRATEGI BELAJAR SPIRITUAL TEACHING
DALAM MEMOTIVASI
BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PAI
Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Manusia
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah yang lain. Akal
merupakan kelebihan yang telah diberikan Allah kepada manusia. Dengan akal
manusia mampu belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan
mana yang buruk. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang
dimiliki, seorang manusia mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas
hidupnya yaitu memaksimalkan proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia
dibekali kecerdasan yang luar biasa dibanding dengan makhluk Allah yang lain.
Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata-mata untuk mencari
nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk
mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri
dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu
harus didasari niat beribadah kepada Allah.
Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap ketika dia
(guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya sebatas itu
saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak
didiknya. Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya
memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar
menjadi manusia yang berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu
mengenali dan memahami apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu
menjadi seorang pendidik, panutan bagi orang-orang di sekitarnya terutama bagi
peserta didiknya.
Guru juga seorang manusia dimana masih perlu banyak belajar. Guru
merupakan salah satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang
gurulah kita mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu
memberikan teladan yang baik bagi peserta didik-peserta didiknya karena setiap
sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk
itu, seorang pendidik (guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang
dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ
dan SQ yang baik.
Alangkah mulia jika guru menjadi teladan bagi peserta didik-peserta didik
dalam beribadah, pergaulan, dan perilaku. Dengan ungkapan yang tepat, hendaknya
ucapan guru serasi dengan perbuatannya. Imam SyafiĆ mewasiatkan kepada pendidik
anak-anak khalifah Harun Ar-Rasyid, “Mulailah dalam mendidik anak-anak amirul
mukminin dengan mendidik dirimu sendiri. Karena mata mereka tertambat kepada
matamu. Baik, menurut mereka adalah apa yang kamu anggap baik, dan buruk bagi
mereka adalah apa yang kamu benci.
Keteladanan adalah tindakan paling ampuh dan efektif yang dapat dilakukan
oleh seorang pendidik. Keteladanan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan
tanpa banyak kata-kata. Anak kita umumnya lebih senang melihat keteladanan dari
pada banyak diceramahi panjang lebar. Menurut Covey: “bahwa kata-kata hanya
memberi dampak sekitar 20 persen kepada anak, sedangkan keteladanan memegang
peranan yang lebih efektif dan siswa adalah sasaran utama dari proses aktivitas
belajar mengajar”.[1] Oleh karena itu, siswa
menjadi unsur utama bagi guru untuk dapat berinteraksi.
Kurikulum, sistem pengajaran dan lain-lainnya pada dasarnya dibuat untuk
merealisasikan tujuan pengajaran dan pendidikan bagi peserta didik. Berpijak
pada posisi peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka perlu diletakkan
garis-garis besar dan kaidah-kaidah interaksi dengan peserta didik agar tujuan
pengajaran dan pendidikan bisa terealisasikan. Salah satu permasalahan mutu
pendidikan yang terjadi saat ini di Madrasah Ibtidaiyah “Mathla’ul Anwar”
Cilambur Desa Leuwibatu Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor adalah rendahnya mutu
proses pembelajaran seperti strategi mengajar guru yang tidak tepat, kurikulum,
manajemen sekolah yang tidak efektif dan
kurangnya motivasi siswa dalam belajar.
Realita di lapangan menunjukan bahwa siswa tidak memiliki kemauan belajar
yang tinggi, dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Banyak siswa merasa
“ogah-ogahan” di dalam kelas, tidak mampu memahami dengan baik pelajaran yang
disampaikan oleh guru-guru mereka. Hal ini menunjukan bahwa siswa tidak
mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar.
Siswa masih mengganggap kegiatan belajar tidak menyenangkan dan memilih
kegiatan lain di luar kontek belajar seperti menonton televisi, sms, dan
bergaul dengan teman sebaya.
Rendahnya motivasi belajar siswa akan membuat mereka tertarik pada
hal-hal yang negatif. Raymond J.W dan Judith mengungkapkan bahwa secara harfiah
anak- anak tertarik pada belajar, pengetahuan, seni (motivasi positif) namun
mereka juga bisa tertarik pada hal–hal yang negatif seperti minum obat- obatan terlarang,
pergaulan bebas dan lainnya.[2]
Motivasi belajar siswa tidak akan lenyap tapi ia akan berkembang dalam
cara-cara yang bisa membimbing mereka untuk menjadikan diri mereka lebih baik
atau juga bisa sebaliknya. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh guru dan orang
tua.
Definisi Strategi Belajar Spiritual Teaching
Kata “strategi” dalam kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti rencana yang
cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[3]
Strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan
menurut Kemp: “strategi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus
dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif
dan efisien”.[4]
Spiritual menurut bahasa adalah batin, kejiwaan, moral dan rohani.
Spiritual berasal dari kata spirit, yang mempunyai beberapa arti, yaitu: arwah,
hantu, peri, orang, kelincahan, makna, moral, cara berpikir, semangat,
keberanian, sukma dan tabiat, dari keduabelas arti tersebut kemudian dipersempit
lagi menjadi tiga macam arti saja, yaitu berkaitan dengan “moral”, “semangat”,
dan “sukma”.
Kata spiritual sendiri dapat dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat
spirit atau berkenaan dengan spirit, dari sini kita dapat mengartikan
“spiritual” sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan kita dalam
membangkitkan “semangat”, misalnya.[5] Atau bagaimana kita benar-benar memperhatikan
“jiwa” atau “sukma” kita dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi.
Al-Ghazali mengartikan kata spiritual dengan menggunakan empat istilah, yakni
al-qalb, al-ruh, al-nafs, al-aql.[6] Keempat
istilah tersebut ditinjau dari segi fisik memiliki perbedaan arti, dalam
pengertian pertama al-qalb berarti qalb al-jasmani (kalbu jasmani), al-ruh berarti ruh jasmani dan lathif,
al-nafs berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-aql berarti ilmu. Sedangkan dalam pengertian
kedua, keempat istilah itu mengandung arti yang sama, yakni jiwa atau spiritualitas
manusia yang mempunyai hakikat, diri, dan zat manusia.
Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai
kerajaan rajanya adalah jiwa, wilayahnya adalah tubuh, alat indera dan fakultas
badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir (perdana mentri), serta
hawa nafsu dan sifat marah sebagai polisinya.[7] Raja
dan wazir selalu berusaha membawa manusia ke jalan yang baik dan diridhai
Allah. Sebaliknya hawa nafsu dan sifat marah selalu pula mengajak manusia ke
jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Demi terciptanya ketenangan dan
kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia) maka, kekuasaan raja dan wazir harus
berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang
terjadi pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa. Dari ibarat di atas
semakin jelaslah bahwa jiwa merupakan hakikat, diri dan zat manusia karena
fungsinya besar dalam kehidupan dan di atas-Nya lah tergantung baik atau buruknya
manusia di dunia dan akhirat.
Adapun “Teaching” disini
berarti mengajar. Mengajar adalah suatu proses yang kompleks. Tidak hanya
sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa, akan tetapi juga
dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Secara
tradisional mengajar diartikan sebagai suatu proses penyampaian pengetahuan
atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada
siswa, sebagaimana yang dituntut dalam penguasaan mata pelajaran tersebut.
Menurut Smith menyatakan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan
atau keterampilan. Pandangan William H. Burton: “bahwa mengajar adalah upaya
dalam memberi perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada
siswa agar terjadi proses belajar”.[8]
Yang terpenting dalam mengajar bukan upaya guru menyampaikan materi
pembelajaran, tetapi bagaimana siswa mempelajari materi pembelajaran sesuai
dengan tujuan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan “strategi spiritual
teaching” adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman
pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran
tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada
Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran
dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya.
Cinta guru terhadap profesinya bisa berwujud profesionalisme, totalitas,
ketulusan, kesabaran, dan kerelaan dalam menghadapi resiko-resiko yang harus
ditanggung.Adapun cinta guru terhadap siswa diberikan melalui kedekatan,
keakraban, penerimaan yang tulus, atau cairnya hubungan yang terbangun bersama
mereka. Curahan cinta, kasih dan sayang guru kepada siswa akan menghasilkan
sesuatu yang spektakuler, yaitu respons balik dari siswa berupa cinta, kepatuhan
dan prestasi.
Langkah-langkah Strategi Belajar Spiritual Teaching
Alangkah mulia jika guru menjadi teladan bagi peserta didik-peserta didik
dalam beribadah, pergaulan, dan perilaku. Dengan ungkapan yang tepat, hendaknya
ucapan guru serasi dengan perbuatannya. Imam SyafiĆ mewasiatkan kepada pendidik
anak-anak khalifah Harun Al-Rasyid: “Mulailah dalam mendidik anak-anak amirul
mukminin dengan mendidik dirimu sendiri, karena mata mereka tertambat kepada
matamu, baik menurut mereka adalah apa yang kamu anggap baik, dan buruk bagi
mereka adalah apa yang kamu benci”.[9]
Keteladanan adalah tindakan paling ampuh dan efektif yang dapat dilakukan
oleh seorang pendidik. Keteladanan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan
tanpa banyak kata-kata. Anak kita umumnya lebih senang melihat keteladanan dari
pada banyak diceramahi panjang lebar. Menurut Covey: “bahwa kata- kata hanya
memberi dampak sekitar 20 persen kepada anak”.[10]
Sedangkan keteladanan memegang peranan yang lebih efektif. Peserta didik adalah
obyek dan sasaran utama dari proses aktivitas belajar mengajar dan pendidikan.
Oleh karena itu, dialah unsur utama yang dengannya seorang guru
berinteraksi. Kurikulum, sistem pengajaran dan lain-lainnya pada dasarnya
dibuat untuk merealisasikan tujuan pengajaran dan pendidikan bagi peserta didik.
Berpijak pada posisi peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka
perlu diletakkan garis-garis besar dan kaidah-kaidah interaksi dengan peserta
didik agar tujuan pengajaran dan pendidikan bisa terealisasikan. Tumpuan itu
semua adalah akhlak yang baik.
Spiritual Teaching Sebagai
Konsep Yang Melibatkan IQ, EQ, SQ
Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses
belajar mengajar tertentunya mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam
melaksanakan tugasnya. Strategi spiritual
teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan
penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata
pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka
pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model
pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan
anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta
menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa
semangat dan senang dalam belajar.
Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa tolak
ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar
atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Seorang guru yang dikatakan
cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan atau menyampaikan
pengetahuan (transfer of knowledge),
tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap
dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik hanya mengandalkan
kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga
tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak bertindak tidak patut dan
semestinya.
Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk
mulai menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi
lebih dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan,
nilai-nilai religius. Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini
adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita
miliki, melalui upaya belajar/ learning
to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan learning to be (SQ) serta
berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-menerus, sehingga
pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang
sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan
diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita
adalah berusaha membelajarkan peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap
potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses
pembelajaran yang menantang atau problematis (Problematical Learning/IQ),
menyenangkan (Joyful Learning/ EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/SQ).
Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak
didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah
bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku
peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan
hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan
secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Dalam dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ)
perlu mendapat perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak
diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan
menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan
Mengembangkan Kecerdasan Spritual
Salah satu kecerdasan yang masih tren saat ini adalah kecerdasan spritual.
Kecerdasan yang bermula dari penemuan daerah God Spot pada otak dan
jaringan syaraf ini begitu banyak menarik perhatian para cendekia atau
orang biasa.
Menurut Khalil Khavari: “bahwa kecerdasan spritual adalah fakultas dari
dimensi nonmaterial kita (roh manusia). Inilah “intan” yang belum terasah yang
kita semua memilikinya. Kecerdasan spritual adalah benda yang sangat berharga
dalam diri manusia, yang alat untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat”[11]. Apabila
dalam kecerdasan emosional kita mengenal bagaimana mengenali emosi kita, emosi
orang lain, dan menggunakannya untuk berhubungan dengan orang lain, maka dalam
kecerdasan spritual kita menggunakan seluruh potensi diri kita untuk bukan
hanya menjaga hubungan dengan sesama manusia tetapi juga menjaga hubungan
dengan Sang Pencipta.
Pada era sebelum ditemukannya kecerdasan ini, dokter cenderung menyarankan
pasien yang menderita depresi untuk menggunakan obat penenang seperti Prozak.
Namun saat ini, pengobatan semacam itu telah mulai ditinggalkan dan beralih
pada metode kebermaknaan. Saat ini orang yang menderita depresi diminta untuk
melakukan amal seperti bersedekah atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
kemanusiaan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini terbukti dapat membantu penderita
depresi untuk memperbaiki jalan hidupnya. Ia dapat menemukan jalan hidupnya
bagi orang lain dan menemukan makna kehidupannya di dunia ini. Inilah salah
satu bentuk kecerdasan spritual.
Dalam batasan nilai, kecerdasan spritual
menuntun kita untuk membedakan jahat dan baik, menyesuaikan diri dengan aturan
yang berlaku untuk kepentingan bersama yang dilandasi suatu pemahaman yang
integral. Kecerdasan spritual sangat memungkinkan kita untuk melihat makna di
balik suatu kejadian atau peristiwa
Motivasi Belajar Siswa
Motivasi
adalah suatu proses untuk menggiatkan motif atau daya menjadi perbuatan atau
tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu[12].
Dalam hal belajar motivasi diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak dalam
diri siswa untuk melakukan serangkaian kegiatan belajar guna mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Tugas guru adalah membangkitkan motivasi anak sehingga
ia mau melakukan serangkaian kegiatan belajar. Motivasi siswa dapat timbul dari
dalam diri individu (motivasi intrinsik) dan dapat timbul dari luar diri siswa/motivasi
ekstrinsik[13].
Motivasi
instrinsik merupakan motivasi yang timbul sebagai akibat dari dalam diri
individu tanpa ada paksanan dan dorongan dari orang lain, misalnya anak mau
belajar karena ingin memperoleh ilmu pengetahuan atau ingin mendapatkan keterampilan
tertentu, ia akan rajin belajar tanpa ada suruhan dari orang lain. Sebaliknya
motivasi ekstrinsik timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah
karena ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau
belajar.
Kegiatan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa bukanlah hal mudah
untuk dilakukan. Rendahnya kepedulian orang tua dan guru, merupakan salah satu
penyebab sulitnya menumbuhkan motivasi belajar anak. Fakta yang terjadi selama ini
menunjukan bahwa ketika ada permasalahan
tentang rendahnya motivasi belajar siswa, guru dan orang tua terkesan tidak mau
peduli terhadap hal itu, guru membiarkan siswa malas belajar dan orang tua pun
tidak peduli dengan kondisi belajar anak. Maka untuk menumbuhkan motivasi
belajar siswa orang tua dan guru perlu mengetahui penyebab rendahnya motivasi
belajar siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pengajaran Berbasis Motivasi
Pengajaran tradisional
menitikberatkan pada metode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan
hal-hal yang dianggap penting bagi guru atau peserta didik. Cara ini tidak
mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak
dengan kesanggupan, kebutuhan, minat, dan tingkat kesanggupan/perkembangan,
serta pemahaman peserta didik. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang
diberikan itu didasarkan atas motif-motif dan tujuan yang ada pada peserta
didik.
Sejak adanya
penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi tentang kepribadian dan tingkah
laku manusia, serta perkembangan dalam bidang ilmu pendidikan maka pandangan
tersebut kemudian berubah. Faktor peserta didik justru menjadi unsur yang
menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran yang disampaikan oleh guru. Tokoh
pendidikan yang memulai pandangan baru ini, antara lain: Dr. Ovide Dicroly,
yang terkenal dengan pengajaran berdasarkan “pusat minat”, anak makan, pakaian,
permainan/bekerja. Kemudian menyusul tokoh pendidikan lainnya seperti Dr. John
Dewey, yang terkenal dengan “pengajaran proyeknya”, yang berdasarkan pada
masalah yang menarik minat siswa, sistem persekolahan lainnya. Sehingga sejak
itu pula para ahli berpendapat, bahwa tingkah laku manusia didorong oleh
motif-motif tertentu, dan perbuatan belajar akan berhasil apabila didasarkan pada
motivasi yang ada pada peserta didik. Peserta didik dapat dipaksa untuk
mengikuti sesuatu perbuatan, tetapi ia tidak dapat dipaksa untuk menghayati
perbuatan itu sebagaimana mestinya.
Seekor kuda dapat digiring ke sungai tetapi tak dapat dipaksa untuk minum.
Demikian juga halnya dengan peserta didik, guru dapat memaksakan bahan
pelajaran kepada mereka, akan tetapi guru tidak mungkin dapat memaksanya untuk
belajar dalam arti sesungguhnya. Inilah yang menjadi tugas guru yang paling
berat, yakni bagaimana caranya berusaha agar peserta didik mau belajar dan
memiliki keinginan untuk belajar secara kontinu.
Demikian artikel ini disusun semoga memberikan
manfaat bagi guru dalam memodifikasi sekaligus menerapkan
berbagai metode pembelajaran khususnya pada strategi belajar spiritual
teaching dalam memotivasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI. Bagi
penulis, dapat menambah pengetahuan yang lebih matang dalam bidang pengajaran
dan menambah wawasan dalam bidang penelitian, sehingga dapat dijadikan sebagai
latihan dan pengembangan teknik-teknik yang baik khususnya dalam membuat karya
tulis ilmiah, juga sebagai kontribusi nyata bagi dunia pendidikan.
[1]http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2115281-langkah-langkah-strategi-spiritualteaching/#ixzz1o0er0UYM.di akses tanggal
14-07-2012. Pukul 12.00
[2]
Wlodsowski R.J & Jaynes J.H. Hasrat
Untuk Belajar. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2004). hal.65
[3]
Qonita Alya. Kamus Bahasa Indonesia untuk
Pendidikan Dasar. (Jakarta: PT. Indahjaya Pratama, 2009).hlm.751
[4] Abin
Syamsuddin. Psikologi Pendidikan. (Bandung : PT Rosda Karya Remaja, 2003).hlm.69
[5] Qonita
Alya. Ibid. hlm.748
[6]
Imam Al-Ghazali. Minhajul Abidin
(Petunjuk Ahli Ibadah). (Surabaya: Mutiara Ilmu.1995). hlm.117
[7] Ibid. hlm.120
[8]
Sukmadinata,dan Nana Syaodih. Landasan
Psikologi Proses Pendidikan.(Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2005).hlm.126
[9]
Syeikh Nawawi Al-Bantany, Alih Bahasa Zainal Arifin Yahya. Bahjatul Wasail Bi Syarhil Masail. (Jakarta: Pustaka Mampir.2005).
hlm.18
[10]
Daniel Goleman. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, (PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2000).hlm.195
[11]
Asep Dadang. Mencerdaskan Potensi IQ, EQ
dan SQ. (Bandung: PT. Globalindo Universal Multi Kreasi.2007). hlm.78
[12]
Usman Uzer. Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008). hlm.45
[13] Ibid.
hlm.48
No comments:
Post a Comment