Monday, October 27, 2014

HUBUNGAN PENGUASAAN KITAB JURUMIYAH DENGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ARAB


HUBUNGAN PENGUASAAN KITAB JURUMIYAH 
DENGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ARAB
Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy




Bahasa Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan muslim di berbagai belahan dunia. Dewasa ini bahasa Arab merupakan bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara yang merupakan dua puluh dua negara yang menjadi anggota Liga Negara-negara Arab. Di bawah pengaruh Islam, bahasa ini menentukan bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen kosakata untuk bahasa-bahasa ini, dan kuat pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu, dan kesustraannya. Bahasa Arab merupakan bahasa religius satu milyar Muslim di seluruh dunia, yang diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga merupakan bahasa hukum Islam, yang setidaknya dalam bidang status pribadi, mendominasi kehidupan semua Muslim. Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di beribu-ribu sekolah di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai Filipina, bahasa Arab dipakai sebagai bahasa pengajaran dan kesusastraan dan pemikiran di bidang sejarah, etika, hukum dan fiqh, teologi, dan kajian kitab. [1]
Perkembangan suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial dan gelombang pemikiran yang ada. Artinya, bahwa perkembangan suatu bahasa selalu dipengaruhi oleh suatu kondisi sosial tertentu. Interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu dengan latar sosial kehidupannya dalam suatu tempat memiliki peran penting dalam membentuk pikiran individu. Hal ini pada giliran selanjutnya, mempengaruhi seorang individu dalam mengungkapkan apa yang dilihat dan disaksikan, serta dalam mengatakan apa yang menjadi isi hati dan pikirannya. Bahasa pun menjadi alat komunikasi. Dengan demikian, bahasa dan kondisi sosial memiliki hubungan yang erat.
Karena realitas sosial terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, maka bahasa pun mengalami perkembangan. Kadang, bahasa hidup di tengah perubahan budaya, sosial dan ekonomi. Di tengah kondisi yang seperti ini, bahasa akan sangat mungkin mengalami pergeseran. Salah satu bentuk pergeseran itu adalah munculnya kesalahan penggunaan dalam komunikasi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kaidah-kaidah yang sudah disepakati sebelumnya. Selalu ada “inovasi” baru dalam praktek berbahasa. Kondisi seperti ini pernah dilampaui oleh sejarah bahasa Arab ketika peradaban mereka menjadi “kiblat” bagi masyarakat di luar Arab.
Kesalahan praktek berbahasa ini yang dalam sejarah bahasa Arab disebut dengan lahn. Lahn sendiri dalam pandangan ahli nahwu dianggap sebagai kesalahan tata bahasa (al-khatha’al-nahwi) yang terjadi saat seseorang menggunakan praktek berbahasa yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. [2]
Sudah maklum, bahwa ilmu nahwu adalah salah satu ilmu yang lahir dalam masa kodifikasi. Ilmu ini tergolong ilmu penting yang harus dipahami jika hendak mahir dalam bahasa Arab, meskipun kemunculannya tidak dapat dilepaskan dari faktor agama, yaitu untuk menyelamatkan al-Qur’an dari perubahan dan kesalahan bacaan.
Didukung dengan beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi masyarakat Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa al-Qur’an harus ditulis dan dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu di luar al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil dimana ia justru harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks aslinya.
Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual ibadah hanya dianggap sah jika dilakukan dalam bahasa Arab. Tak pelak doktrin-doktrin seperti ini telah memacu motivasi masyarakat Muslim untuk mempelajari dan menguasai bahasa Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an bahkan tidak hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga dihafalkan kata perkata secara utuh.
Kitab jurumiyah merupakan bagian dari kitab kuning yang dikaji di pondok pesantren didalamnya membahas tentang ilmu gramatika/tata bahasa Arab. Pengajian kitab kuning di pondok pesantren pada umumnya dilaksanakan dalam bentuk sorogan, wetonan dan bandongan. Untuk pengajian dalam bentuk sorogan, wetonan dan bandongan biasanya disebut sebagai kurikulum sistem ma’hady artinya jenis kitab, alokasi waktu pembelajaran dan kalender akademik sepenuhnya terserah sang Kiyai. Adapun pengajian yang dikemas dalam bentuk klasikal atau sistem madrasy secara umum sama dengan model-model klasikal lainnya. Kitab-kitab yang dikaji biasanya sudah ringkasan/ikhtishar dari kitab-kitab kuning yang ada.
Kitab Jurumiyah termasuk kedalam kategori kitab-kitab Islam klasik yang dikarang oleh para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran yang membahas tentang ilmu gramatika bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier:  “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren”.[3] Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[4]
Kitab “Aj-jurrumiyah”: merupakan kitab dasar dalam fan ilmu nahwu. Kitab ini salah satu matan yang biasa dipakai oleh kalangan pesantren untuk pembelajaran dasar-dasar ilmu nahwu bagi pemula, dalam mengawali pembelajaran fan ilmu alat lebih lanjut. Dalam setiap sorogan, santri dituntut paham dan mampu menghapal tiap kaidah-kaidahnya, agar memudahkan pemahaman materi selanjutnya.
Diceritakan, Syeikh Imam Ash-Shanhaji tatkala telah rampung menulis kaidah-kaidah ilmu nahwu dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. [5]  Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya: “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. [6]
Itulah kitab “Aj-jurrumiyah” yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan bagi pemula dalam mendalami ilmu nahwu di berbagaidunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal. Sebagaimana hakekat manusia yang terdiri dari dimensi lahir dan batin, bahasa pun demikian halnya.
Manusia disebut makhluk lahir karena ia memang tampak, dapat dikenali dan diidentifikasi. Sebaliknya disebut makhluk batin, karena apa yang tampak dari manusia hanyalah pencerminan belaka dari hakekat dirinya yang tersembunyi (batin atau metafisik).[7] Seperti juga hakekat kedirian manusia ini, bahasa manusia pun pada dasarnya adalah simbol bagi dunia makna. Aliran mentalis mengatakan bahwa bahasa merupakan ekspresi dari ide, perasaan dan keinginan [8]
Ferdinand De Saussure lebih jauh mengembangkan unsur makna dan kata dalam bahasa melalui teori tentang konsep dan imajinasi suara (the concept and the sound image).[9] Kata pohon misalnya, terdiri dari imajinasi suara kata "pohon" (signifier) dan konsep tentang pohon (signified). Sistem simbolik bahasa disandarkan pada sistem kehidupan manusia. Karena itu kosa-kata sebuah bahasa di samping mencerminkan kemampuan sebuah masyarakat dalam mengekspresikan pengalaman hidupnya, juga secara umum mencerminkan pengetahuan, pandangan hidup, keyakinan maupun pemikiran mereka. Bahasa Inggris mencerminkan keseluruhan perkembangan politik, sosial dan sejarah budaya bangsa Inggris.[10] Demikian pula dengan bahasa Jawa. Pembagian kata menjadi tiga tingkatan menunjukkan adanya budaya patriakal yang sangat kental pada masyarakat penuturnya. Pembagian jenis kata pada rendah (ngoko), menengah (madyo) dan atas (inggil) mengacu pada adanya strata sosial masyarakat dalam budaya Jawa.
Sebagaimana bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem simbolik. Kosa kata yang dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya.[11] Ibarat kata adalah sebuah badan, maka makna adalah ruhnya.[12] Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan dari konsep maknanya. Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang tidak mengetahui maknanya. Bahasa Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun tingginya nilai sastra al-Qur'an, berhadapan dengan mereka, al-Qur'an tidak dapat menyampaikan satu pesan pun.
Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab. Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab. Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat Arab.


[1] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi.  Atlas Budaya Islam,  Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 59
[2] Ibid. hlm. 59
[3] Dhofier  Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985). hlm.50
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1999) . hl m. 24-27, 138-161
[5] Al-Ahdal. Op. Cit. hlm.6
[6] Al-Ahdal. Op. Cit. hlm.6
[7] Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan (Jakarta: P3M, 1993). hlm. 13-14.
[8] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 59
[9] Ibid. hlm.142.
[10] Mas'udi, Op. Cit. hlm. 15.
[11]Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum al-Balaghah (Beirut: Dar al-Jail, 1993), hlm. 149.
[12] Ibid, hlm..152.

No comments:

Post a Comment