HUBUNGAN PENGUASAAN KITAB JURUMIYAH
DENGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ARAB
Oleh: Jawi"Marbawi"Al-Kurdy
Bahasa Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan muslim di
berbagai belahan dunia. Dewasa ini bahasa Arab merupakan bahasa daerah sekitar
150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara yang merupakan dua puluh dua
negara yang menjadi anggota Liga Negara-negara Arab. Di bawah pengaruh Islam,
bahasa ini menentukan bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Sawahili.
Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen kosakata untuk bahasa-bahasa ini, dan kuat
pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu, dan kesustraannya. Bahasa Arab
merupakan bahasa religius satu milyar Muslim di seluruh dunia, yang diucapkan
dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga merupakan bahasa hukum Islam, yang
setidaknya dalam bidang status pribadi, mendominasi kehidupan semua Muslim.
Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di beribu-ribu sekolah
di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai Filipina, bahasa Arab dipakai sebagai
bahasa pengajaran dan kesusastraan dan pemikiran di bidang sejarah, etika,
hukum dan fiqh, teologi, dan kajian kitab. [1]
Perkembangan
suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial dan gelombang pemikiran
yang ada. Artinya, bahwa perkembangan suatu bahasa selalu dipengaruhi oleh
suatu kondisi sosial tertentu. Interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap
individu dengan latar sosial kehidupannya dalam suatu tempat memiliki peran
penting dalam membentuk pikiran individu. Hal ini pada giliran selanjutnya,
mempengaruhi seorang individu dalam mengungkapkan apa yang dilihat dan
disaksikan, serta dalam mengatakan apa yang menjadi isi hati dan pikirannya.
Bahasa pun menjadi alat komunikasi. Dengan demikian, bahasa dan kondisi sosial
memiliki hubungan yang erat.
Karena
realitas sosial terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, maka bahasa pun
mengalami perkembangan. Kadang, bahasa hidup di tengah perubahan budaya, sosial
dan ekonomi. Di tengah kondisi yang seperti ini, bahasa akan sangat mungkin
mengalami pergeseran. Salah satu bentuk pergeseran itu adalah munculnya
kesalahan penggunaan dalam komunikasi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan
kaidah-kaidah yang sudah disepakati sebelumnya. Selalu ada “inovasi” baru dalam
praktek berbahasa. Kondisi seperti ini pernah dilampaui oleh sejarah bahasa
Arab ketika peradaban mereka menjadi “kiblat” bagi masyarakat di luar Arab.
Kesalahan
praktek berbahasa ini yang dalam sejarah bahasa Arab disebut dengan lahn.
Lahn sendiri dalam pandangan ahli nahwu dianggap sebagai kesalahan tata bahasa
(al-khatha’al-nahwi) yang terjadi saat
seseorang menggunakan praktek berbahasa yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa
yang ada. [2]
Sudah
maklum, bahwa ilmu nahwu adalah salah satu ilmu yang lahir dalam masa
kodifikasi. Ilmu ini tergolong ilmu penting yang harus dipahami jika hendak
mahir dalam bahasa Arab, meskipun kemunculannya tidak dapat dilepaskan dari
faktor agama, yaitu untuk menyelamatkan al-Qur’an dari perubahan dan kesalahan
bacaan.
Didukung dengan beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa
Arab terus mempengaruhi masyarakat Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin
bahwa al-Qur’an harus ditulis dan dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa Arab).
Terjemahan al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu di luar al-Qur’an itu sendiri. Hal
ini berbeda dengan Injil dimana ia justru harus diterjemahkan ke berbagai
bahasa tanpa menyertakan teks aslinya.
Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan
ritual ibadah hanya dianggap sah jika dilakukan dalam bahasa Arab. Tak pelak
doktrin-doktrin seperti ini telah memacu motivasi masyarakat Muslim untuk
mempelajari dan menguasai bahasa Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang
baik. Al-Qur’an bahkan tidak hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga
dihafalkan kata perkata secara utuh.
Kitab jurumiyah merupakan bagian dari kitab kuning yang dikaji di pondok
pesantren didalamnya membahas tentang ilmu gramatika/tata bahasa Arab. Pengajian
kitab kuning di pondok pesantren pada umumnya dilaksanakan dalam bentuk
sorogan, wetonan dan bandongan. Untuk pengajian dalam bentuk sorogan, wetonan
dan bandongan biasanya disebut sebagai kurikulum sistem ma’hady artinya jenis kitab, alokasi waktu pembelajaran dan
kalender akademik sepenuhnya terserah sang Kiyai. Adapun pengajian yang dikemas
dalam bentuk klasikal atau sistem madrasy
secara umum sama dengan model-model klasikal lainnya. Kitab-kitab yang dikaji
biasanya sudah ringkasan/ikhtishar dari kitab-kitab kuning yang ada.
Kitab Jurumiyah termasuk kedalam kategori kitab-kitab Islam klasik yang
dikarang oleh para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran yang membahas tentang
ilmu gramatika bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik
sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab
kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier: “pada masa lalu,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal
yang diberikan dalam lingkungan pesantren”.[3]
Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum
sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun
pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada
umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian
dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu
pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[4]
Kitab “Aj-jurrumiyah”: merupakan
kitab dasar dalam fan ilmu nahwu. Kitab ini salah satu matan yang biasa dipakai
oleh kalangan pesantren untuk pembelajaran dasar-dasar ilmu nahwu bagi
pemula, dalam mengawali pembelajaran fan ilmu alat lebih lanjut. Dalam setiap
sorogan, santri dituntut paham dan mampu menghapal tiap kaidah-kaidahnya, agar
memudahkan pemahaman materi selanjutnya.
Diceritakan, Syeikh Imam Ash-Shanhaji tatkala telah rampung menulis
kaidah-kaidah ilmu nahwu dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam
untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. [5] Dengan segala sifat kewara’annya dan
ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya: “Ya Allah jika saja
karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis
ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran
kertas tersebut tidak luntur. [6]
Itulah kitab “Aj-jurrumiyah”
yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat
yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan bagi pemula
dalam mendalami ilmu nahwu di berbagaidunia. Selain ringkas, kitab mungil ini
juga mudah dihafal. Sebagaimana hakekat manusia yang terdiri dari dimensi lahir dan batin,
bahasa pun demikian halnya.
Manusia
disebut makhluk lahir karena ia memang tampak, dapat dikenali dan
diidentifikasi. Sebaliknya disebut makhluk batin, karena apa yang tampak dari
manusia hanyalah pencerminan belaka dari hakekat dirinya yang tersembunyi
(batin atau metafisik).[7]
Seperti juga hakekat kedirian manusia ini, bahasa manusia pun pada dasarnya
adalah simbol bagi dunia makna. Aliran mentalis mengatakan bahwa bahasa
merupakan ekspresi dari ide, perasaan dan keinginan [8]
Ferdinand
De Saussure lebih jauh mengembangkan unsur makna dan kata dalam bahasa melalui
teori tentang konsep dan imajinasi suara (the
concept and the sound image).[9]
Kata pohon misalnya, terdiri dari imajinasi suara kata "pohon" (signifier) dan konsep tentang pohon (signified). Sistem simbolik bahasa
disandarkan pada sistem kehidupan manusia. Karena itu kosa-kata sebuah bahasa
di samping mencerminkan kemampuan sebuah masyarakat dalam mengekspresikan
pengalaman hidupnya, juga secara umum mencerminkan pengetahuan, pandangan
hidup, keyakinan maupun pemikiran mereka. Bahasa Inggris mencerminkan
keseluruhan perkembangan politik, sosial dan sejarah budaya bangsa Inggris.[10]
Demikian pula dengan bahasa Jawa. Pembagian kata menjadi tiga tingkatan menunjukkan
adanya budaya patriakal yang sangat kental pada masyarakat penuturnya.
Pembagian jenis kata pada rendah (ngoko), menengah (madyo) dan atas (inggil)
mengacu pada adanya strata sosial masyarakat dalam budaya Jawa.
Sebagaimana
bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem simbolik. Kosa kata yang
dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya.[11]
Ibarat kata adalah sebuah badan, maka makna adalah ruhnya.[12]
Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan
dari konsep maknanya. Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah
simbol bagi seseorang yang tidak mengetahui maknanya. Bahasa Arab yang dipakai
al-Qur'an misalnya, tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi
bagi siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun tingginya
nilai sastra al-Qur'an, berhadapan dengan mereka, al-Qur'an tidak dapat
menyampaikan satu pesan pun.
Sistem
simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti
pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab.
Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an
sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada
pemakaian kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh
masyarakat Arab. Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya
Arab ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat
Arab.
[1] Ismail R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi. Atlas
Budaya Islam, Penerjemah Ilyas Hasan
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 59
[3] Dhofier
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1985). hlm.50
[4] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:
Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1999) . hl m. 24-27, 138-161
[7] Masdar Farid
Mas'udi, Agama Keadilan (Jakarta: P3M, 1993). hlm. 13-14.
[8] Ismail R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas
Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 59
[11]Al-Quzwaini, Al-Idloh
fi Ulum al-Balaghah (Beirut: Dar al-Jail, 1993), hlm. 149.
[12] Ibid, hlm..152.
No comments:
Post a Comment