Wednesday, October 15, 2014

RELEVANSI PANDANGAN AL-IMAM AL-GHAZALI
TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
DEWASA INI
Oleh : Jawi "MARBAWI" Al-Kurdiy
(Sudah Publikasi di Majalah Gema Madrasah Kab. Bogor Edisi Mei 2014)

 
Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dalam mengungkap permasalahan, dan ternyata beliau mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya serta mampu melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang.
Sesungguhnya, Al-Ghazali seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan, ia pula memikirkan soal-soal pendidikan, pengajaran dan metode-metodenya. Namun, berbagai pandangan dan teori pendidikannya tidak terhimpun dalam suatu kitab karena hampir didalam setiap kitabnya tidak ada yang spesifik untuk membahas pendidikan meski hampir dalam setiap karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan.
Al-Ghazali mengemukakan sebagian pendapatnya mengenai pendidikan yang pada saat ini dipandang sebagai pendapat terbaru dalam pendidikan modern. Ia telah menganjurkan agar perbedaan indivudu ikut diperhatikan dalam pengajaran. Dari sinilah tampak oleh kita pentingnya aliran pendidikan Al-Ghazali. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dinilai dari out put atau hasil akhirnya, yakni orang-orang sebagai produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang dapat bertanggung jawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, maka pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebalilknya, bila out put nya adalah adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap mengalami kegagalan.
Ciri-ciri utama dari kegagalan suatu proses itu ialah manusia-manusia produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dibandingkan dengan orang yang dapat menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian itu sepertinya sudah terlihat nyata dewasa ini, kemudian melahirkan berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Hanya karena ingin mendapat kerja yang layak, kemudian secara kondisional orang terpaksa suap-menyuap. Sebaliknya, orang yang tidak dapat bekerja yang dianggap sesuai dengan pendidikannya, juga melakukan tindak budaya yang lebih tidak sehat lagi, misalnya, mencuri dan tindakan negatif lainnya.

A. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Secara inplisit al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan itu adalah dalam upaya membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu akan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia. Memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri sehingga dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Hal ini misalnya terlihat dalam nasihat yang diberikan oleh al-Ghazali, yang diungkapkannya dalam uraian akhir kitab Ayyuh al-Walad dan Bidayat al-hidayah.
Untuk mewujudkan insan sempurna (insan kamil) seperti itulah tampaknya yang menjadi tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali, yakni melalui pendidikan akal (kognitif), pendidikan hati/kejiwaan (afektif) dan pendidikan jasmani (psikomotor) atau lebih dikenal dengan sebutan pendidikan keterampilan.
Dalam sudut pandang Ilmu Pendidikan Islam, aspek pendidikan akal (kognitif) ini harus mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan mendidik akal manusia agar dapat berpikir dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, akal yang tidak mendapatkan pendidikan akan berakibat langsung ataupun tidak langsung kepada pemiliknya untuk melakukan hal-hal diluar kemampuannya.
Adapun mengenai pendidikan hati (afektif) seperti dikemukakan oleh al-Ghazali di atas, adalah merupakan suatu keharusan bagi setiap insan. Dengan demikian keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya adalah mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk wujud pribadi manusia paripurna, berbahagia di dunia dan di akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan kepada pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’Ulum al-din yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).

B. Kurikulum Pelajaran Menurut Al-Ghazali
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazdmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari. (3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.

C. Metode Pelajaran Menurut Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’lim insani. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.

D. Pendidik Menurut Al-Ghazali
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya: “Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya”.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat. Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1. Memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang.
2. Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3. Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT.
4. Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
5. Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
6. Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7. Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
8. Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.

E. Murid Menurut Al-Ghazali
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (Islam).
Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2. Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4. Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5. Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui hakikatnya.
6. Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7. Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Al-Ghazali. Mutiara Ih}ya’ Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam. Cet. XV. Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 2003.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Cet. V. Jakarta: Penamadani, 2008.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.
Syukur, Fatah NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008

No comments:

Post a Comment