Wednesday, October 15, 2014

ANALISIS EPISTEMOLOGI ILMU LADUNNY AL IMAM AL GHAZALY
(Kajian Filsafat Pendidikan)
OLEH: Jawi " MARBAWI ' Al-Kurdiy
 

Telah menjadi pemahaman banyak orang, bahwa ada sebagian ‘kecil’ hamba Tuhan yang telah dikaruniai rahmat langsung dari-Nya. ‘Orang-orang suci’ tersebut dipercaya memiliki berbagai kelebihan yang orang lain tidak memilikinya. Mulai dari nabi-nabi yang memiliki mukjizat yang berbagai macam, wali-wali Allah yang mempunyai karomah luar biasa, sampai orang-orang biasa yang memiliki keanehan dalam hidupnya. Semua ini tidak dapat lepas dari kuasa Tuhan dan sulit dinalar.
 
Salah satu kelebihan –atau ada yang menyebutnya sebagai keanehan yang terdapat dalam orang-orang terpilih tersebut adalah kecerdasan akal serta pengetahuan yang didapat secara tiba-tiba, atau kebanyakan orang menyebutnya sebagai “ilmu ladunni”. Dalam sejarah yang dicatat oleh Alqur’an disebut nabi Khidir, yang memiliki pengetahuan luas dan mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang. Ataupun keyakinan kebanyakan orang tentang Ilmu Ladunni yang dimiliki oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Kelebihan (ilmu) yang dimiliki mereka tentu merupakan sebuah anugerah karena mereka adalah hamba-hamba yang benar-benar mengabdi pada Tuhan dan mengerti tentang Tuhan. Nah, disinilah terdapat pemahaman yang berbeda mengenai ilmu ladunni. Ilmu ladunni sebenarnya adalah ilmu tentang ketuhanan, mengetahui hakekat ketuhanan dan kebesaran ilahi.
 
Tidak banyak ulama yang berpendapat tentang ilmu ini sehingga penulis pun sedikit kesulitan dalam mencari buku pegangan. Namun pemahaman sebagian ulama sangat beragam, ada yang meyakini bahwa ilmu ladunni adalah rahmat langsung dari Tuhan sehingga tidak dapat dipelajari, namun ada pula ulama yang berkeyakinan bahwa ilmu ladunni dapat dipelajari (ditekuni), bahkan ada pula yang sangat menyangkal bahwa hal tersebut tidaklah rasional.
 
Para kaum rasionalis menganggap bahwa upaya memperoleh ilmu tidak lain adalah dengan usaha-usaha akal dan empiris bukan melalui hal-hal mistik dan ghaib. Hal inilah yang kemudian mendorong salah satu ulama kesohor yang dikarenakan luas pengetahuannya, Imam Al Al-Ghazali, memberikan pendapat mengenai ilmu ‘ghaib’ ladunni.

Biografi Al-Imam Al-Ghazaly
Sebelum berbicara banyak tentang pemikiran Al Al-Ghazali, khususnya dalam kaitannya dengan ilmu ladunni, sangat naif, jika kita mengundahkan historisitas Imam Al Al-Ghazali. Paling tidak, pemahaman tentang kondisi sosio-kultural masa kecil Al Al-Ghazali menjadi bahan pertimbangan dalam menelaah pemikiran-pemikirannya. Imam Al Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad ath-Thousy. Sang Hujjatul Islam (julukan beliau) ini dilahirkan pada tahun 450 H di kota Thous, kira-kira satu generasi sesudah Ibnu Sina. Beliau adalah seorang pemikir terkemuka dan menguasai berbagai bidang keilmuan, sehingga tidak heran banyak sekali karya-karya yang dihasilkan. Diantara keahlian yang ia miliki meliputi fiqh, Ushul, ilmu kalam, logika (manthiq), tasawuf, akhlak dan lainnya. Pada masa hidup beliau termasuk dalam periode klasik (650-1250 M), di bawah kekuasaan bani Abbasiyah yang kebetulan pada saat itu sedang mengalami kemunduran luar biasa (masa desintegrasi) karena berbagai konflik baik internal ataupun eksternal (1000-1250 M). Bahkan krisis besar yang melanda pemerintahan tersebut seakan menjadi sempurna tatkala lambang kebesaran Islam, Ka’bah, dapat dikuasai oleh kaum Qaramith, bahkan Hajar Aswad sempat pula dibawa lari. Bukan hanya kaum itu saja yang menyerang bani Abbasiyah, namun terdapat pula kaum Syiah, kaum Hasyyasin. Bahkan kaum yang disebut terakhir ini sempat pula menculik dan membunuh Perdana Menteri Nizam al-Muluk dari Dinasti Saljuk di tahun 1092 M. Kacaunya kondisi sosial politik tersebut sangat berpengaruh terhadap berbagai bidang kehidupan. Sehingga tak ayal lagi, kemunduran Islam benar-benar tak terelakkan. Di bidang pendidikan dan kejiwaan, umat mengalami kemiskinan intelektual, spiritual dan moral. Disorientasi kehidupan dari sisi dunia akhirat menjadi orientasi keduniawian telah terjadi. Bidang-bidang intelektual dan agama yang sebenarnya dituntut pengalaman dan penghayatan hanya dimanfaatkan untuk mencari popularitas dan jabatan. Akhirnya pun pengembangan keagamaan tidak pernah sama sekali ditingkatkan. Yang ada justru kelompok-kelompok pemikiran yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar. Konsekwensinya khalayak muslim mengalami kebingungan intelektual.
 
Ironisnya, tatkala umat muslim mengalami penurunan intelektual justru perkembangan keilmuan barat sedemikian pesat. Dari Barat terjadi gelombang Helenisme kedua. Filsafat-filsafat Yunani Kuno demikian dipuja-puja. Nama-nama besar Socrates, Plato, Aristoteles begitu memukau karena inovasi, intelektualitas serta ketelitiannya dalam berbagai bidang ilmu seperti geometri, logika, dan ilmu alam. Selanjutnya, kaum muslimin merasa pesimistis berhadapan dengan kaum filosof, yang kemudian kaum filosof tersebut melemahkan aqidah dengan menyerang agama yang menurut mereka tidak lain adalah tipu daya yang dihiasi keindahan. Bahkan kemudian tidak sedikit kaum muslim yang ‘terhipnotis’ dan ikut-ikutan menjadi pemuja filsafat.
 
Dengan demikian Al-Ghazali dengan semangat yang membara terpacu untuk melaksanakan misi-misinya, yang paling tidak terdapat dua misi utama. Pertama, membangun dunia intelektualisme Muslim yang semakin jauh dari kebenaran. Kaum Muslim yang saat itu terbagi menjadi empat golongan yakni kaum teolog yang mengandalkan kekuatan akal dibantu dengan wahyu, filosof yang mengandalkan kekuatan akal saja, ahli kebatinan (penganut Syi’ah Bathiniyah) yang sangat memuja-muja Imam mereka, serta kaum sufi yang hanya mengandalkan kekuatan intuisi.
 
Keempat golongan tersebut masing-masing sangat eksklusif. Mereka masing-masing menganggap bahwa bidangnyalah yang paling benar tanpa perlu campur tangan bidang lain. Karena itu al-Ghazali yang sejak kecil bergelut dengan ilmu berupaya menyatukan pemikiran-pemikiran tersebut dengan tetap mempertimbangkan bidang lain. Artinya, konsep pemikiran al-Ghazali tersebut mempertimbangkan akal (andalan filosof dan teolog) serta amal namun tetap dengan tujuan seperti halnya sufi. Misalkan saja kepada ahli hakekat, al-Ghazali menyerukan untuk tidak mengindahkan ajaran-ajaran syari’ah, demikian pula kepada ahli Syari’ah diserukan untuk menyertakan pula aspek-aspek batin dan keakheratan.
Misi kedua, melayani serangan intelektual barat. Para filosof yang hanya mengandalkan kekuatan akal seringkali menyerang agama yang dianggap tidak rasional dan tipuan saja. Serangan-serangan inteletual barat yang nampak rasional dan logis seringkali mempengaruhi iman kaum muslimin, sehingga tiada jalan lain bagi Al-Ghazali untuk mengembalikan kepercayaan kaum muslim dengan berperang dengan cara mereka (kaum filosof), yakni menggunakan akal dan logika yang matang. Semangat al-Ghazali mewujudkan misi-misinya menjadikan beliau tidak segan-segan belajar banyak hal. Baik bidang-bidang keagamaan ataupun bidang lain termasuk filsafat yang selalu dipuja-puja kaum Barat. Terlebih lagi ketika beliau menjadi orang kepercayaan pejabat semasa Perdana Menteri Nizam al-Muluk, ia banyak menghadiri diskusi-diskusi keilmuan yang diadakan di sekitar Istana. Bahkan karena terbukti ia adalah seorang pelajar hebat, maka kemudian ia dipercaya menjadi Guru Besar di Universitas almamaternya, Nizamiyah, setelah guru besar Universitas tersebut yang juga gurunya Imam Haramain, meninggal dunia. Pada saat Perdana Menteri Nizam al-Muluk menjabat, sebelum akhirnya terbunuh tahun 1902 dan disusul Sultan Malik Syah yang hanya berselang satu bulan, Al-Ghazali memang menjadi orang kepercayaan al-Muluk, sampai-sampai setiap keputusan kerajaan tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan beliau.
Perjalanan hidup al-Ghazali tidak sepenuhnya berjalan mulus. Dalam mencari jati dirinya, ia dipenuhi kebimbangan-kebimbangan, yang justru dengan kebimbangan-kebimbangan tersebut melahirkan pemikiran-pemikiran yang brilian. Seperti halnya para pencari Tuhan, Al-Ghazali yang saat itu sukses dalam hal karier tidak pernah merasa tenang. Ia diliputi goncangan batin yang hanya melahirkan sikap ragu-ragu, ragu-ragu terhadap pengetahuan yang ia miliki. Beberapa pertanyaan yang menyebabkan ia sedemikian diantaranya; apakah pengetahuan hakiki itu, apakah pengetahuan yang diperoleh lewat indera atau lewat akal ataukah lewat jalan yang lain.
Setelah berada dalam kebimbangan selama hampir dua bulan, Al-Ghazali merasa dirinya sudah sembuh akibat cahaya Tuhan yang telah dipancarkan dalam kalbunya. Ia memulai babak baru kehidupannya dengan mencari kebenaran, kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki melalui tasawuf, setelah sebelumnya ia menyelami bermacam-macam metode-metode keilmuan, seperti halnya ilmu kalam, filsafat, kebatinan, syari’ah dan lain sebagainya. Dengan demikian sangat sulit mencerna corak pemikiran al-Ghazali karena dirinya diliputi kegoncangan batin selama hidupnya. Kekayaan ilmu yang dimiliki al-Ghazali selama pengembaraannya di dunia akademisi telah melahirkan banyak pemikiran yang terkadang bertentangan antara satu dengan yang lain. Sebagaimana contahnya, ia menulis kitab “Tahafut al Falasifah” untuk menelanjangi kepalsuan dan serangan filosof Barat, namun di sisi lain ia juga membahas tentang ilmu logika Aristoteles (al-Mantiq al-Risthi) bahkan ia juga membela ilmu Aristoteles tersebut berikut kegunaannya. Ataupun ketika ia seakan-akan menentang ilmu kalam sebagaimana yang ada dalam “iIjam al-Awwam’an ‘ilm al-kalam”, di sisi lain ia memberikan tempat kepada ilmu kalam Asy’ariyah dalam kitabnya “al-Istishad fi al-Ittihad”. Kaum awam yang cara berfikirnya sederhana tidak mampu menangkap hakekat-hakekat, karenanya ia perlu diberi petunjuk dan nasihat. Sedangkan untuk kaum khawas, ia harus dihadapi dengan menjelaskan hikmah-hikmah. Dan berbeda pula ketika harus menghadapi kaum pendekar (penentang) yang harus dihadapi dengan mematahkan argumen-argumen mereka. Di samping itu, Al-Ghazali sewaktu masih muda akrab dengan logika-logika yang berbeda dengan ketika ia sudah tua dan akrab dengan Tasawuf. Namun walaupun dengan pijakan yang berbeda, ia telah melahirkan pemikiran yang sangat cerdas, wawasan luas serta analisis yang mendalam. Termasuk konsep ilmu ladunni yang ia tuangkan dalam sebuah risalah yang ia beri judul “Risalat al-Ladunniyah”.
 
Ilmu Ladunny Al-Imam Al-Ghazali
Kitab “Risalat al-Ladunniyah” merupakan jawaban yang ia berikan kepada kaum rasionalis saat itu yang tidak percaya terhadap ilmu ghaib ladunni, lmu yang merupakan sandaran utama para sufi. Menurut Al-Ghazali di awal kitab ini para kaum rasionalis mengatakan: “Saya tidak mampu membayangkan ilmu para sufi. Saya tidak mengira ada seorang di alam ini yang berbicara tentang ilmu hakiki melalui berfikirdan merenung tanpa belajar dan berusaha”.
Hal yang demikian wajar karena kaum rasionalis tidak mengetahui dengan benar tentang ilmu. Walaupun Ia mengakui bahwa ilmu-ilmu yang ada terdiri dari fiqih, tafsir, kalam, dan ilmu pasti. Namun tentang hal-hal yang sangat mendalam dan luas, sebagaimana ilmu tafsir, begitu banyak perbedaan dan pendapat dari berbagai pandangan karena ilmu yang ada dalam al-Qur’an tersebut sangat luas. Al-Ghazali menyebut kaum rasionalis tersebut tidak faham tentang ilmu, karenanya mereka mengingkari dan menyalahkan ilmu para sufi.
Ilmu secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Ilmu yang bersifat syariat (syar’î) dan kedua yang bersifat rasional (‘aqlî). Masing-masing ilmu sangat penting dan terkadang timbul sifat apriori terhadap ilmu lain. Ilmu syariat bersifat rasional bagi para pakarnya, demikian juga ilmu rasional bersifat syar’î bagi para pakarnya. Selanjutnya, ilmu yang bersifat syar’î dibagi menjadi dua bagian: Ilmu prinsip, ilmu Tauhid, yang didukung oleh ilmu-ilmu tafsir, sunnah, dan sebagainya. Sedangkan ilmu-ilmu tafsir dan sunnah hanya dapat dikuasai dengan ilmu-ilmu bahasa, tata bahasa; nahwû, I’rob, serta tashrîf. Ilmu furû’ (cabang). Ilmu cabang ini dapat bersifat ilmiah, yakni ilmu ushûl, dan juga dapt bersifat praktis, yakni mencakup 3 hak, yakni (1) Hak Allah, seperti halnya ilmu-ilmu tentang ubudiyah; sholat, bersuci, zakat, haji dan sebagainya. (2) Hak hamba, seperti halnya ilmu-ilmu muamalah; jualbeli, hibah, pinjaman, pernikahan, perceraian, dan sebagainya. (3) Hak diri, yang tercermin dalam ilmu akhlak.
Ilmu yang rasional (aqlî), yang mungkin dapat terjadi kebenaran atau kesalahan, terdiri dari tiga tingkatan; Ilmu pasti (riyâdhah) dan ilmu mantiq (logika). Ilmu pasti dapar dicontohkan adalah ilmu matematika, ilmu geometri, fisika, kimia, dan sebagainya. Sedangkan ilmu logika ialah ilmu yang mempelajari definisi dan diskripsi pada segala sesuatu dengan diskripsi analogi (tashawwur), verifikasi (tashdiq). Ilmu alam. Termasuk di dalamnya ilmu-ilmu terapan. Di dalamnya dipelajari astronomi, ilmu-ilmu kedokteran, dan sebagainya. Ilmu yang mempelajari tentang eksistensi dan pembagiannya. Disini dipelajari berbagai hal tentang pencipta, eksistensi, sifat dan sebagainya. Dipelajari pula ilmu-ilmu tentang nabi, malaikat beserta dengan karamahnya, zat-zat suci dan seterusnya.
Ilmu merupakan gambaran jiwa yang berfikir tenang (an-nafs an-nâthiqoh al-muthmainnah). Walaupun demikian ada ilmu yang paling utama yaitu ilmu Tauhid. Ilmu yang mengetahui zat yang paling haq dan paling mulia. Ilmu ini dapat diperoleh dari berbagai jalan pendahuluan, termasuk ilmu-ilmu tentang langit dan bumi. Semua ilmu, termasuk ilmu sihir sekalipun, dalam esensinya tetaplah mulia sebab ia merupakan lawan dari kebodohan. Padahal kebodohan adalah termasuk aspek-aspek kegelapan, dimana pula ia adalah diam, sedangkan diam lebih dekat kepada ketiadaan. Sehingga tidak salah ungkapan Descartes; cogito ergo sum, saya berfikir maka saya ada. Esensi manusia sesungguhnya karena adanya jiwa manusia, potensi nalar dan ruh yang mempengaruhi seseorang untuk berfikir, mempunyai perasaan estetik dan seni.
Jiwa merupakan bagian dari manusia, disamping jasad. Ia adalah tunggal, yang memahami, menerangi, penggerak, serta penyempurna perangkat tubuh dan jasad. Namun ia juga bukan penggerak syahwat dan emosi yang menuntut makan, minum, seks dan sebagainya. Penggerak ini diistilahkan sebagai ruh hewani atau sering disebut sebagai nafsu. Sedangkan jasad adalah bagian dari manusia yang kasar dan gelap. Ia mengalami kerusakan, tersusun dan terbentuk dari tanah. Sama halnya dengan ruh yang akan mati seiring dengan kematian tubuh.
Dengan demikian terdapat empat bagian dari diri manusia: Jiwa Berfikir (nafs nâthiqoh) atau dalam al-Qur’an disebut sebagai nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram) dan rûh amrî atau istilah lainnya disebut sebagai kalbu. Jiwa ini adalah esensi yang hidup, aktif dan rasional. Kalbu ini dipercaya memiliki substansi seperti jasad. Ia dapat melihat segala yang tampak dengan mata dan melihat hakekat dengan akal. Sebagaimana sabda rasul: ” tidak ada dari seorang hamba itu kecuali kalbunya memili dua mata”. Keduanya dapat melihat hal yang ghaib. Dan ia pun tidak akan mati namun hanya kembali kepada Tuhan mereka. Sebagaimana dalam Firman-Nya:
• • • •
Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,Masuklah ke dalam syurga-Ku”.(QS. Al-Fajr : 27-30)

Dalam kehidupannya, jiwa ini selalu bekerja mencari ilmu, karena ilmu adalah perhiasannya di akherat. Jasad, perangkat tubuh manusia yang kasar dan empiris. Allah menyusun jasad ini dari saripati tanah dan disusun dan dibangun dari sari-sari makanan. Ia terdiri dari bagian-bagian keras dan kuat serta melaksanakan tugas-tugas berjalan, gerakan, penginderaan yang diperintahkan oleh ruh hewani (sebagai pelayan ruh hewani). Ruh Hewani sering pula disebut sebagai nafsu. Ruh hewani ini merupakan penggerak syahwat dan emosi. Lebih jauh lagi Ia pula yang melahirkan keinginan-keinginan untuk melakukan kekerasan, amarah, berbuat sadis menguasai segala sesuatu dan lain sebagainya. Ruh hewani dapat digambarkan sebagai jasad lembut yang bertempat di dalam kalbu. Ia bagaikan lampu menyala di dalam kaca kalbu. Kehidupan adalah cahaya lampu itu dan darah adalah minyaknya . emosi adalah panasnya, sedangkan kekuatan yang menggerakkan jasad adalah ajudannya.
Ruh kehidupan. Ruh ini tidak menunjukkan pada ilmu serta tidak menegtahui jalan makhluk dan kebenaran pencipta. Ia merupakan kehidupan di saat jasad hidup, dan ia akan mati seiring jasad mati.
Dari berbagai hal yang dimiliki manusia tersebut, maka Ghazali kemudian membaginya dalam tiga dimensi, yakni: Jasad, ‘Aradh, serta jawhar. Jasad sebagaimana diterangkan diatas merupakan bagian kasar. Sementara ‘aradh (aksiden) adalah ditentukan oleh jasad dan ruh. Ia tidak kekal setelah substansi, yakni nafs nâthiqoh kembali kepada sang pencipta. Sedangkan jawhar (substansi) ialah jiwa yang tak pernah mati, jiwa yang hanya kembali kepada Tuhan, nafs al-muthmainnah.
Jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini mempunyai tiga daya yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Jiwa binatang. Mempunyai dua daya yaitu daya penggerak dan daya pencerap. Daya penggerak dapat berbentuk nafsu, amarah dan bisa pula berpindah tempat. Sedangkan daya pencerap dapat diterima melalui pancaindera lahir (mata, telinga, mulut, kulit dan hidung) serta indera batin, yakni; pertama, indera bersama, bertempat di bagian depan otak yang berfungsi menerima kesan-kesan dari pancaindera luar. Kedua, Indera penggambar, bertempat di bagian depan dan bertugas melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama. Ketiga, Indera pengreka yang berada di otak tengah dan bertugas untuk memisahkan kesan-kesan yang diterima kemudian digabungkan lagi. Keempat, indera penganggap yang berada di otak tengah dan berfungsi mengungkap arti yang dikandung gambaran itu. Dan kelima, indera pengingat yang berada di bagian belakang otak dan bertugas menyimpan gambar itu.
Jiwa manusia yang mempunyai daya berfikir. Dapat pula disebut sebagai aql (akal), dan akal ini dibagi dua; akal praktis yang berfungsi menangkap gambar-gambar empiris dan akal teoritik yang berfungsi menangkap hal-hal yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh, dan sebagainya.
Nah, akal teoritik yang merupakan bagain dari jiwa manusia inilah yang merupakan sumber dan penangkap ilham, intuisi, pengetahuan yang datangnya langsung dari Tuhan. Akal teoritik (an-nafs an-nathiqah) ini hanya dapat menangkap pengetahuan abstrak dari Tuhan jika dan hanya jika jiwanya bersih. Artinya, seseorang bisa saja mendapatkan ilmu laduni jika hati dan jiwanya bersih, ia telah dapat mengenal Tuhan sedekat urat lehernya. Logikanya, ilmu pengetahuan adalah nur dari Tuhan, sehingga apabila hati yang diibaratkan kaca ini benar-benar bersih, maka pantulan cahaya ilahiyah akan sangat jelas penampakannya. An-Nur (Nubuwah) ini kemudian menjadi teori yang selanjutnya menjadi rujukan tasawuf teosofi semacam hikmah ilahiyah Ibnu ‘Arabi, Hikmah Isyraqiyah Suhrawardi, dan seterusnya.
Sinar ilahiyah dapat diumpamakan sebagai lilin yang menyala dalam sebuah gelas yang bening dan tersimpan dalam ceruk yang indah. Ceruk ini adalah hati orang-orang yang beriman. Dan ilham merupakan cahaya yang datang kepada hati hamba-hamba-Nya yang bersih dan suci.
Ilmu secara umum dapat dicapai dalam dua cara, yaitu pengajaran manusia (at-ta’allum al-insaniyah) dan pengajaran Tuhan (at-ta’allum ar-rabaniyah). Pengajaran manusia dilalui dengan cara-cara belajar dan berfikir. Sedangkan pengajaran Tuhan disampaikan melalui penyampaian wahyu, sebagaimana nabi-nabi terdahulu, dan pengilhaman. Pengilhaman yang merupakan cara pemberian ilmu laduni, merupakan peringatan jiwa universal kepada jiwa parsial manusiawi, sedangkan jiwa universal tersebut memperoleh pancaran cahaya dari akal universal yang dekat dengan Tuhan. Ilmu ladunni datang kepada jiwa manusia dapat berupa bisikan yang datang kepada hati secara tiba-tiba. Ilmu ini bersumber dari kebersihan hati dalam mengenal Tuhan, yang merupakan cermin dari sifat Allah Bashar (melihat) yang dilanjutkan dengan proses sama’ (mendengar) atas segala keagungan Tuhan.
Jiwa manusia datang ke bumi bersama dengan kebersihannya. Dan sesuai dengan esensinya, ia selalu mencari ilmu dalam kehidupannya. Jika kemudian jiwa tersebut melupakan ilmu, itu dikarenakan sesuatu yang asing dan baru. Apabila jiwa itu kemudian melupakan ilmu, maka dapat dikatakan jiwa itu sedang sakit.
Namun kebanyakan manusia memang melupakan ilmu dan bahkan lebih menyukai hal-hal yang duniawi, harta, jabatan, karier dan macam-macam. Ruh an-nathiqah kemudian menjadi diam dan lebih diwarnai oleh ruh hewani. Ia kemudian lebih mencintai jasad yang kasar dan penuh penyakit daripada esensinya tentang keilmuan. Dengan demikian jiwa akan menjalankan fungsi yang sama ketika seorang ayah yang mencintai anaknya dan ia akan bertindak apapun demi memenuhi kebutuhan anaknya. Jiwa menjadi lebih dipenuhi keinginan untuk memakmurkan jasad, memelihara serta memperhatikan kebutuhannya. Apabila yang terjadi seperti ini, maka jiwa akan lebih jauh dari substansinya. Untuk itu seseorang hanya dapat mencapai ilmu laduni jika penyakit hatinya dapat dihilangkan. Jiwa kemudian akan kembali kepada esensinya, berilmu pada fitrahnya dan dan jernih pada permulaan penciptaannya.
Kemudian setelah seseorang sudah bersih dan menghilangkan sakitnya, maka ia kemudian dapat memperoleh ilmu laduni melalui tiga cara:
Melalui perolehan seluruh ilmu dan pengambilan bagian yang paling sempurna dari sejumlah besar yang ada (belajar).
Melalui riyadhah (latihan) yang benar dan muraqabah yang shahih. Hal ini dapat saja terjadi karena nabi Muhammad pernah bersabda, “barangsiapa yang mengikhlaskan dirinya kepada Allah selama empat puluh subuh, Allah akan menampakkan dari kalbunya sumber-sumber hikmah melalui lisannya.”
Melalui tafakur. Jiwa dalam kehidupannya selalu belajar dari pengalaman empiris. Dan jika kemudian dari data-data empiris tersebut diolah dalam proses berfikir, niscaya ilmu yang ia peroleh tersebut akan lebih berkembang dan bertambah luas

Analisis Epistemologi Ilmu Ladunny
Ilmu yang secara umum diperoleh manusia dari dua cara: kasbiy dan ladunni. Ilmu yang diperoleh langsung dari manusia (kasbiy) telah banyak dilakukan sebagaimana pembelajaran umum. Perolehan ilmu ini ialah melalui proses belajar dan kemudian dilanjutkan dengan proses berfikir. Sedangkan ilmu laduni merupakan sebuah rahmat yang diperoleh dari Tuhan karena sucinya hati seorang hamba. Karena kesucian hati hamba ini, Tuhan menuliskan dengan penanya ilmu pengetahuan di dalam hatinya tersebut. Walaupun demikian keduanya, baik ilmu kasbiy ataupun ladunni tidak dapat dicapai tanpa proses Iqra’
Iqra’ merupakan perintah pertama yang diperoleh rasul Muhammad pada saat ia menerima wahyu kenabian pertama kali. Membaca disini tidak hanya diartikan secara tekstual sebagaimana orang membaca tulisan, namun lebih jauh membaca dalam segala hal. Penerimaan indera ketika seseorang membaca obyek merupakan sebuah proses belajar, yang kemudian dilanjutkan dengan proses berfikir. Yang pada akhirnya melahirkan ilmu-ilmu yang lebih luas dan mengambil hikmah dari apa yang kita baca.
Al-Ghazali yang merupakan seorang pakar dalam berbagai bidang ilmu, khususnya tasawuf, sangat mempercayai dan mengagungkan ilmu. Lebih-lebih yang berkaitan dengan Ketuhanan dan jalan menuju ke sana (tasawuf). Karenanya dalam Risalatu al-Laduniyah ini ia melakukan pendekatan-pendekatan dalam dimensi sufistik. Namun sebagai seorang yang berpengetahuan luas dan membawa misi baik intern (untuk kalangan umat Islam sendiri) atau ekstern (untuk melawan serangan-serangan keilmuan filosof Barat) ia menjelaskan ilmu yang ghaib ini secara rasional. Ia pula tidak menafikan keilmuan yang mengandalkan rasionalitas. Dalam hal ini George C. Anawati mengemukakan bahwa pemikiran al-Ghazali yang bercorak ganda, yakni corak mu’amalah (amalan praktis) dan corak mukasyafah (corak intelektualis-filosofis) telah menimbulkan dua hal yang berbeda,yakni lahirnya tarekat-tarekat dan pemikiran yang spekulatif-metafisis.
Pemikiran-pemikiran sufistik mu’amalah yang melahirkan tarekat-tarekat ini kemudian melebar kepada hal-hal yang mempercayai adanya hal-hal yang berbau tahayyul. Sehingga tidak heran ketika kemudian muncul orang-orang yang malas belajar dan hanya mengandalkan riyadlah dalam mencapai ilmu laduni. Mereka berharap Allah akan memberikan belas kasihan serta memberikan ilmu dengan cuma-Cuma.
Entah hal ini kemudian dipercaya berhasil atau tidak, namun alangkah lebih bijaksana seandainya dalam proses pencarian ilmu tidak hanya mengandalkan cara riyadlah saja, namun lebih mengutamakan cara belajar dan tafakur. Bukankah dalam berbagai kesempatan, nabi Muhammad selalu menganjurkan kepada kaumnya untuk lebih mengutamakan “mencari” ilmu. Bahkan ia juga menggambarkan usaha keras yang harus ditempuh, ketika beliau bersabda, “Carilah Ilmu hingga ke negeri China”. Ini menunjukkan bahwa pencarian ilmu adalah lebih utama.

Kesimpulan
Ilmu Laduni adalah aliran cahaya ilham yang terjadi setelah jiwa mengalami penyempurnaan (taswiyah). Jiwa manusia ini memperoleh cahaya yang berasal dari jiwa universal, sedangkan jiwa universal mendapatkan cahaya dari akal universal yang dekat kepada Tuhan.
Ilmu laduni dapat diperoleh dengan berbagai cara, yaitu: pengambilan pelajaran dari hal-hal empiris, riyadlah, serta tafakur. Ghazali sendiri sebagai seorang yang berpengetahuan luas hanya lebih mengutamakan kesucian jiwa daripada cara memperoleh ilmu ini. Hal ini akan lebih nampak bijak daripada harus condong kepada salah satu dimensi, antara kebatinan dan rasionalitas.
Demikian sekelumit yang dapat kami paparkan mengenai pemikiran seorang ilmuan besar, Sang Hujjatul Islam Imam al-Gazali, tentang ilmu gaib laduni. Tidak sedikit hal-hal yang tidak kami ketahui, karenanya mungkin telah timbul sedemikian banyaknya kekurangan-kekurangan baik persoalan penulisan ataupun pemikiran. Karenanya kritik serta saran yang konstruktif sangat kami harapkan selalu. Pada akhirnya kami hanya dapat berucap,”Maha Suci Allah, tidak ada ilmu bagi kami selain apa yang kamu ajarkan kepada kami.”

No comments:

Post a Comment